Jumat, 21 Januari 2011

LOGIKA KESADARAN By: Supendi


“Education is live and live is education”
“Wa qul jaa ‘al-haqqa wa zahaaqal-baathil, inna baathila kaana zahuuqa”

Pendahuluan

Manusia dibekali dengan beberapa jenis alat (indera) yang mampu merespon dan menjadi alur masuk untuk mendapatkan berbagai pengetahuan, kadang banyak yang menganggap sepele sesuatu yang hadir dalam kehidupan kita. Banayk orang sering terfokus sebuah term, dan menghilangkan sebuah celah yang dianggap sepele karena tidak menentukan. Padahal sebuah selah dalam pemikiran kita itu dapat menjadi satu fondasi yang menentukan untuk bangunan kesadaran kita.
Satu pelajaran yang dapat kita ambil dari Deskartes, dimana keragu-raguan dalam dirinya yang akhirnya memunculkan satu metode filsafat yang kemudian berkembang menjadi dasar filosofis filsafat rasionalisme. Berawal dari pertanyaan bagaimana basa dipercaya ketidak sebatang kayu yang dicelupkan ke dalam air tampak bengkok, padahal sebenarnya tidak bengkok. Ternyata indera begitu mudah diperdaya oleh realitas. Maka cara berpikir filsafati itu dianggap tidak jelas dan dari ketidak jelasan itu muncul suatu keragu-raguan dalam diri Deskarter, dan semakin ia berfikir justru semakin yakin bahwa dirinya “tengah ragu”.
Bagi kalangan awam mempercayai asumsi yang tidak benar sepintas lalu hal tersebut terlihat masuk akal, dan in diteruskan pada proses jalan yang keliru bahkan menjadi fatalisme berfikir berkepanjangan. Ada satu penggalan yang menarik dari akhir cerita Deskartes bahwa keyakinan bahwa “dirinya yakin bahwa dirinya ragu” merupakan satu celah yang sangat disepelekan kebanyakan orang. Padahal munculnya keragu-raguan ini justru timbul satu metode yang berkembang dengan ungkapan yang cukup popular di kalangan para pemikir “Cagito ergo sum”
Paulo Freire juga menggambarkan bagaimana celah sederhana tadi merupakan sebuah perenungan individu, maksudnya sebuah perenungan untuk mengenal lebih dalam tentang arti dan fungsi dari realitas disekelilingnya. Hal inipun menjadi dasar bagi hakikat pendidikan agar seorang manusia mengenal hakikat diri dan realitas disekelilingnya.
Ada satu benang merah yang coba kembali digagas tentang bagaimana menemukan kesadaran, berpijak dari keragu-raguan dari sini muncul celah yang dapat kita sebut metode “Cagito”
Perenungan dapat diartikan sebuah bentuk pengisolasian diri yang dalam bentuknya menurut Freire ada dua macam, Pertama isolasi diri yang negative, pengisolasian inibercirikan pandangan egoism dan meminta agar segala sesuatu selalu berkisar dalam keberadaan diri seseorang. Isolasi ini cenderung eksklusif. Tipe Kedua isolasi diri yang inklusif, isolasi ini akan membawa pada pengenalan diri dan sekaligus mengetahui akan kelemahannya. Disamping akan mendorong pada pencarian terus-menerus bahwa dirinya membutuhkan yang lain (the other) dan juga sebaliknya. Selain muncul pandangan bahwa diri tidaklah dalam kesendirian, melainkan satu kesatuan utuh dari cosmos ini. Karena itu manusia tidak berdaya dengan kesendiriannya, tapi membutuhkan yang lain.
Dengan kesadaran melalui media isolasi (perenungan) inilah kemudian kita mampu mengembangkan rahasia-rahasia kekuasaan diri. Secar terus-menerus kita dipaksa untuk mengambil pilihan, maka dalam melakukan pilihan inilah kita mesti berpaling kepada kekuatan diri untuk memunculkan suatu pengetahuan.

Tipologi Kesadaran

Dari dua tipe perenungan di atas, orang harus menjauhkan diri dari egoisme yang menghendaki pemenuhan diri, sebab hal demikian akan melahirkan penindasa-penindasan gaya baru.
Kesadaran seseorang akan terpetakan sesuai kualitas dan kategori yang dimiliki. Dalam hal ini Paulo Freire memetakan kesadaran manusia dalam 3 kategori yang masing-masing memiliki karakter yang berbeda.
Kategori pertama disebut kesadaran Magis. Cirri kesadaran ini adalah fatalism yang begitu kental, orang terperangkap dalam kesadaran bahwa yang ada memang seharusnya ada sebagaimana adanya. Pandangan manusia begitu sederhana melihat realitas sekitarnya dan sikapnya pun menyerahkan diri secara bulat, jadi apa yang terjadi memang sudah seharusnya terjadi.
Pada kategori ini manusia menjadi objek tertinda, semua yang terjadi seolah-olah sudah takdir Tuhan, manusia tak kuasa malampaui-Nya.
Kategori kadua adalah kesadaran Naif. Ditilik secara teoritis, kesadaran ini masih jauh dari yang pertama, tapi masih tetap mengandung determinisme yang kental. Dalam hal karakter, kategori ini masih menunjukkan kerapuhan argumentasi, serta analisis permasalahan yang sangat sederhana.
Kategori yang ketiga adalah kesadaran Kritis. Kesadaran dalam kategori ini adalah arti kesadaran yang sesungguhnya. Orang tidak begitu mudah pasrah terhadap realitas, meskipun itu mengatasnamakan dogma sacral yang mencekik, disini konsep manusia tidak rapuh oleh realitas, namun ia sendiri yang akan mengubah realitas menjadi satu yang bermanfaat baginya.
Pandangan kesadaran kritis, tidaklah determinisme, manusia punya kehendak (will) dan berbuat (Act), manusia sadar akan eksistensi dirinya sendiri dan realitas sekelilingnya.
***
Kesimpulan

Kembali pada permasalahan menguak makna “sadar” yang menjadi kata kunci dari sebuah proses perenungan. Kesadaran kritis sebagaiman dikemukakan dalam pandangan Freire, kalau sebelumnya kita tahu bahwa kesadaran itu tumbuh dari keragu-raguan dan memaksa kita harus mengisolasi diri, selanjutnya kita bersiap-siap untuk menujukkan sikap terhadap tawaran-tawaran dari luar diri kita. Tawaran (pilihan) ini tentu sangant beragam dari mulai hegemoni serta bahasa-bahasa yang beragam.
Dengan menimbang kesadaran diri, maka setiap manusia tidak taken for granted larut dalam kenyataan sikap individu yang oleh Nietze disebut “manusia dekaden” dimana otoritas tawaran-tawaran dari luar begitu kuat sampai manusia tidak mampu keluar dari jeratan fatalisme.

Referen

0 komentar:

Posting Komentar