MAKALAH DAMPAK UN PADA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
OLEH: SUPENDI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pembangunan pondasi pendidikan yang
dimaksudkan adalah dalam rangka mencapai amanat UUD 1945 yang telah dirumuskan
oleh para pendiri bangsa ini bahwa salah satu tujuan bangsa kita adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kecerdasan yang dimaksudkan tentu
bukan hanya kecerdasan intelektual, tapi juga kecerdasan lain seperti
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual disamping kecerdasan yang
lainnya. Disadari oleh kita bahwa untuk
mencapai tujuan tersebut bukanlah hal
yang mudah dalam kondisi keterpurukan bangsa kita dewasa ini yang berusaha
untuk bangkit kembali. Proses kebangkitan bangsa harus selalu menjadi semangat
yang selalu terpatri dalam sanubari setiap anak negeri ini. Karena dengan
semangat itu yang dipadu dengan persatuan dan kerjasama sebagaimana yang juga
telah dicontohkan oleh pejuang bangsa dalam merebut, mempertahankan dan mengisi
kemerdekaan, maka cita-cita bangsa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bukan
merupakan hal yang mustahil untuk diraih.
Sebuah tragedi kembali dipertotonkan
dalam menandai peringatan kebangkitan nasional kita di tahun ini dengan
munculnya kasus korupsi dan penyuapan dan juga kisruh yang terjadi dalam
lembaga olah raga yang menunjukkan jauhnya panggang dari api, atau dengan kata
lain tema yang diusung seperti tergantung diatas langit yang tak mungkin untuk
kita capai hanya dapat kita lihat tanpa bisa diraih. Sebuah ironi yang miris
ditengah upaya dan semangat untuk mensejahterakan masyarakat dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Sehingga tidaklah mengherankan bila
bangsa ini selalu berada dalam tirani kemiskinan yang tak berujung. Bagaimana
mungkin kita dapat mewujudkan harapan dan cita-cita pendiri bangsa ini jika
kita tidak dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat? Seorang pakar ekonomi
yang juga seorang guru besar di Harvard University peraih nobel yaitu Amartya
Kumar Sen dalam bukunya yang berjudul Development as Freedom menyatakan
bahwa antara pendidikan dan kemiskinan memiliki keterkaitan.[1] Pernyataan ini didasarkan pada hasil
penelitian yang dilakukan di India yang menunjukkan betapa tingkat pendidikan
bertalian erat dengan pengentasan kemiskinan. Dengan pendidikan maka akan
meningkatkan self awareness dari masyarakat agar dapat
menyadari akan potensi yang dimilikinya dalam upaya menuju kemandirian baik
mandiri sebagai individu maupun sebagai komunitas atau masyarakat.
Pentingnya pendidikan telah menjadi
gerakan yang digalakkan oleh pemerintah saat ini dengan dikeluarkannya
kebijakan pengganggaran pendidikan sebesar 20% baik dari APBN maupun dari APBD
sebagaimana yang dituangkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 bahwa Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Kemudian
hal ini diperkuat dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 49 ayat 1 bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) pada sector pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Disadari saat ini kualitas
pendidikan kita masih jauh berada di bawah Negara-negara asean dan dunia,
walaupun secara peringkat kita mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan
dari Laporan The Global Competitiveness Report 2010-2011 yang
diluncurkan Forum Ekonomi Dunia. Disebutkan, indeks daya saing global atauGlobal
Competitiveness Index (GCI) Indonesia meningkat. Untuk tahun 2010, GCI
Indonesia berada di posisi ke-44 dari 139 negara, sedangkan tahun lalu di
peringkat ke-54 dari 133 negara.
Adapun sejumlah negara tetangga
berada pada peringkat yang lebih baik adalah Singapura di posisi ke-3, Malaysia
di posisi ke-26, Brunei Darussalam di peringkat ke-28, dan Thailand di posisi
ke-38.[2]
Hal tersebut merupakan sebuah
indicator bahwa kita masih harus bekerja lebih keras untuk meningkatkan
pendidikan. Upaya ini merupakan upaya yang harus dilakukan secara integral,
komprehensif dan akomodatif dengan memanfaatkan semua sumber daya yang
dimiliki. Kita sama mahfum bahwa Negara kita merupakan jamrud katulistiwa yang
memiliki tanah yang subur dan kandungan kekayaan yang tak ternilai. Tapi apalah
arti semua itu jika kita tidak memiliki sumber daya manusia yang handal untuk
mengelola semua kekayaan bangsa tersebut.
Malaysia dan Singapura adalah
tetangga kita yang bila dilihat hanyalah sebuah titik dari luasnya wilayah
kita, tapi apa yang terjadi saat ini? Jika 20 tahun yang lalu kedua Negara
tersebut menjadikan Indonesia sebagai mentor tapi saat ini telah tumbuh menjadi
Negara yang kaya. Malaysia dan Singapura telah tumbuh menjadi Negara miskin
yang kaya “the poor rich country” artinya mereka miskin secara
sumber daya alam tapi mereka kaya akan gagasan dan inovasi sementara Indonesia
menjadi Negara kaya yang miskin “the rich poor country” artinya
kita memiliki sumber daya alam yang kaya, namun karena kita miskin akan
kualitas sumber daya manusia maka kita tidak dapat mengelola secara mandiri
kekayaan kita sehingga mengakibatkan kita menjadi miskin.[3]
Berbicara mengenai tanggungjawab
Negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, maka peran pendidikan formal di
sekolah-sekolah harus menjadi prioritas. Untuk menjaga agar upaya peningkatan
mutu pendidikan secara terencana, terarah dan berkelanjutan, maka pemerintah
melakukan evaluasi terhadap pencapaian yang dilakukan secara nasional yang kita
kenal saat ini dengan Ujian Nasional.
Pada medio 2008 sampai dengan saat
ini, pelaksanaan Ujian Nasional (UN) telah menjadi pembicaraan hangat di
kalangan praktisi pendidikkan tentang kaitan UN terhadap kualitas pembelajaran.
Hal tersebut didasarkan pada fakta lapangan tentang berbagai peristiwa yang
terkadang irasional yang disebabkan oleh kekhawatiran yang berlebihan akan UN
yang akan dijalani. Seakan-akan UN merupakan penentu “hidup dan matinya” siswa,
dalam arti siswa tidak akan bisa menjalani hidupnya bila tidak lulus dalam UN.
Hal ini merupakan bahan evaluasi untuk kita semua karena pendidikan bukanlah
tanggung jawab pemerintah semata tapi merupakan tanggung jawab semua elemen
bangsa.
Selain fenomena yang terjadi pada
siswa juga stigma yang berkembang di kalangan pemerintah yang terkesan bahwa
keberhasilan UN merupakan sebuah kebanggaan, namun jika gagal terkesan menjadi
sebuah tamparan yang memalukan apalagi pada daerah-daerah yang terkenal sebagai
daerah yang menjadi contoh dalam kegiatan pembangunan. Seperti yang terjadi
pada daerah Jakarta dan Yogyakarta.
Sehingga dapat dikatakan bahwa UN
merupakan ajang prestise bagi daerah dan sekolah sebagai bentuk akuntabilitas
terhadap proses pembelajaran yang dilakukan. Apakah ini yang menjadi tujuan UN?
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka menjadi hal yang menarik bagi kelompok
untuk melihat lebih jauh tentang pelaksanaan UN dalam kaitannya dengan
peningkatan kualitas pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Pelaksanaan UN
Perjalanan ujian yang bertujuan
untuk melihat tingkat penyerapan pembelajaran yang telah diterima oleh siswa
sampai dengan munculnya model pelaksanaan Ujian Nasional, ternyata telah
mengalami beberapa kali perubahan sejak 1950 sampai dengan saat ini yang
kecendrungannya setiap berganti pejabat maka berganti pula pola kebijakan
pelaksanaan UN.
Adapun sejarah pelaksanaan UN
sebagai berikut:[4]
Periode
1950-1960-an
Pada periode ini ujian kelulusan
disebut dengan ujian penghabisan dan diadakan secara nasional serta soal-soal
dibuat oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Soal-soal yang
diujikan berbentuk essai dan hasil ujian diperiksa di pusat rayon.
Periode
1965-1971
Pada periode ini semua mata
pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat
oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Waktu
ujian juga ditentukan oleh pemerintah pusat.
Periode 1972-1979
Pada periode ini pemerintah memberi
kebebasan untuk setiap sekolah atau kelompok sekolah menyelenggarakan ujian
sendiri. Pembuatan soal dan penilaian dilakukan masing-masing sekolah atau
kelompok sekolah. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat
umum.
Periode 1980-2001
Pada Periode ini mulai
diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Ebtanas (Evaluasi Belajar
Tahap Akhir Nasional). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk yaitu
Ebtanas untuk mata pelajaran umum dan Ebta untuk mata pelajaran non-ebtanas.
Ebtanas dikoordinasim oleh pemerintah pusat dan Ebta dikoordinasi oleh
pemerintah provinsi. Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua evaluasi tadi
ditambah nilai ujian harian yang tertera di buku rapor. Dalam Ebtanas siswa
dinyatakan lulus jika nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang diujikan
adalah enam. Meskipun terdapat nilai di bawah tiga.
Periode 2002-2004
Pada periode ini Ebtanas diganti
dengan nama Ujian Akhir Nasional (UAN) dan standar kelulusan tiap tahun
berbeda-beda. Pada UAN 2002 kelulusan ditentukan oleh nilai
mata pelajaran secara individual. Pada UAN 2003 standar
kelulusan adalah 3.01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-rata minimal
6.00. Soal ujian dibuat oleh Depdiknas dan pihak sekolah tidak dapat mengatrol
nilai UAN. Para siswa yang tidak/belum lulus masih diberi kesempatan mengulang
selang satu minggu sesudahnya. Pada UAN 2004, kelulusan siswa
didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4.01 dan tidak ada
nilai rata-rata minimal. Pada mulanya UAN 2004 ini tidak ada ujian ulang bagi
yang tidak/belum lulus. Namun setelah mendapat masukan dari berbagai lapisan
masayarakat, akhirnya diadakan ujian ulang.
Periode 2005-sekarang
(2010)
Pada periode ini UAN diganti namanya
menjadi Ujian Nasional (UN) dan standar kelulusan setiap tahun pun juga
berbeda-beda. Pada UN 2005 minimal nilai untuk setiap mata
pelajaran adalah 4.25. Pada UN 2005 ini para siswa yang belum lulus pada tahap
I boleh mengikuti UN tahap II hanya untuk mata pelajaran yang belum lulus.
Pada UN 2006standar kelulusan minimal adalah 4.25 untuk tiap mata
pelajaran yang diujikan dan rata-rata nilai harus lebih dari 4.50 dan tidak ada
ujian ulang. Pada UN 2007 terdapat dua kriteria kelulusan
yaitu;
a) Nilai rata-rata
minimal 5.00 untuk seluruh mata pelajaran dengan tidak ada nilai di bawah 4.25.
b) Jika nilai minimal
4.00 pada salah satu mata pelajaran yang diujikan maka nilai pada dua mata
pelajaran linnya adalah 6.00.
Pada UN 2007 ini tidak ada ujian
ulang. Dan bagi yang tidak lulus disarankan untuk mengambil paket c untuk
meneruskan pendidikan atau mengulang UN tahun depan. Pada UN 2008 mata
pelajaran yang diujikan lebih banyak dari yang semula tiga, pada tahun ini
menjadi enam. Standar kelulusan pada tahun ini terdapat dua kriteria yang
hampir sama dengan tahun 2007 hanya saja terdapat penambahan nilai rata-rata
minimal menjadi 5.25. Penambahan mata pelajaran pada UN 2008 ini karena BSNP
mendapat masukan, bahwa ada ketidakseimbangan tingkat keseriusan antara mata
pelajaran yang di-UN-kan dan yang tidak. Pada UN 2009 standar
untuk mencapai kelulusan, nilai rata-rata minimal 5.50 untuk seluruh mata
pelajaran yang di-UN-kan, dengan nilai minimal 4.00 untuk paling banyak dua
mata pelajaran dan minimal 4.25 untuk mata pelajaran lainnya. PadaUN 2010 tahun
ini, standar kelulusannya adalah;
a) Memiliki nilai
rata-rata minimal 5.50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai
minimal 4.0 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4.25 untuk mata
pelajaran lainnya.
b) Khusus untuk SMK,
nilai mata pelajaran praktek kejuruan minimal 7.00 dan digunakan untuk
menghitung rata-rata UN.
2. Polemik
Pelaksanaan UN
UN adalah merupakan momok yang
menakutkan baik bagi siswa maupun bagi sekolah dan pemerintah khususnya
pemerintah daerah sebagai ajang prestise terhadap kualitas pendidikan yang ada
di daerahnya. Disadari atau tidak UN telah menjadi komoditas politik yang
selalu menjadi isu hangat yang di bawa oleh para politikus untuk mempengaruhi
pilihan masyarakat dalam memperoleh kedudukan dalam lingkar kekuasaan.
Mengapa UN dikatakan sebagai momok
yang menakutkan? Dalam berita yang kita baca dan lihat serta dengarkan baik di
media cetak maupun elektronik, sebelum pelaksanaan UN telah memunculkan sikap
atau perilaku yang kurang rasional seperti melakukan ziarah ke makam-makam yang
dianggap “keramat” bahkan ada yang datang ke pesantren untuk membawa pensil
ujian siswa agar di beri “doa-doa” sehingga mereka dapat menjawab soal UN
dengan baik. Pada saat pelaksanaan UN siswa mendapat bantuan dari pihak guru
yang memberikan bocoran jawaban dengan melakukan kerjasama dengan pengawas. Dan
masih banyak lagi fenomena yang tidak mungkin kami angkat satu persatu. Namun satu
hal yang pasti dengan pelaksanaan UN telah memunculkan sikap irasional dalam
menghadapinya.
Dalam perkembangannya UN juga telah
membawa pengaruh terhadap kesadaran masyarakat dan praktisi pendidikan tentang
bentuk UN yang ideal untuk mengukur kemampuan atau kompetensi siswa walau hal
ini memang sampai dengan saat ini belum ada satu model ideal dalam pelaksanaan
UN. Secara positif UN telah membawa pengaruh pada sekolah untuk selalu mancari
cara agar siswa yang ada di sekolahnya lulus 100% dalam setiap pelaksanaan UN,
baik melalui pengayaan diluar jam belajar maupun bekerja sama dengan bimbingan
belajar untuk mengasah kemampuan siswanya dalam ranah kognitif agar mampu
menjawab soal-soal dalam UN.
Ujian Nasional merupakan salah satu
jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan
belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya menjadi perdebatan dan
kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena dianggap dapat
meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya ujian nasional, sekolah dan guru
akan dipacu untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa
dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian
juga siswa didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar dia bisa lulus
dengan hasil yang sebaik-baiknya.Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit
yang merasa tidak setuju karena menganggap bahwa Ujian Nasional sebagai sesuatu
yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif.
Pendapat yang berkembang dalam
masyarakat kita menurut Agus Suwignyo dapat dipetakan dalam tiga kategori
yaitu:[5]
a. UN dianggap mengabaikan
prinsip keadilan. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa kondisi geografis,
karakter cultural dan kebutuhan social ekonomi daerah-daerah di Indonesia
berbeda-beda sehingga membawa dampak terhadap proses dan hasil pendidikan yang
diharapkan pun berbeda-beda. Misalnya menukil pendapat Begawan pendidikan kita
Prof. Winarno Surakhmad dalam suatu wawancara radio menguraikan bahwa
kompetensi siswa dalam hal penguasaan bahasa inggris antara wilayah Jakarta
dengan Pulau Natuna tentu berbeda yang disebabkan oleh kebutuhan yang berbeda.
b. UN mengabaikan
integralitas bidang-bidang potensi perkembangan murid. Hal ini didasarkan pada
pemikiran bahwa perkembangan potensi siswa terjadi pada aspek cipta, rasa dan
karsa. UN dikhawatirkan mereduksi tujuan pendidikan sejati dari membangun
manusia yang utuh dan cerdas menjadi sekedar lulus ujian (Kompas,3/4/2008).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menganggap dengan memberlakukan UN,
pemerintah mengekploitasi anak-anak demi gengsi-gengsi politik (Kompas,
27/5/2008)
c. Persentase komponen-komponen kelulusan murid
tidak pernah transparan. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa selama ini
pemerintah tidak transparan dalam penentuan kelulusan siswa antara berapa
persen nilai rapor, ujian sekolah dan UN memberikan kontribusi dalam penilaian
bahwa layak dan tidaknya siswa dikategorikan “lulus” dari jenjang pendidikan
tersebut. UN dinilai oleh sejumlah pengamat sebagai “tumpang tindih antara
tujuan pemetaan pendidikan dan tujuan ujian” (Kompas, 22/11/2007)
B.
KONSEP MUTU PENDIDIKAN
Dalam kehidupan
sehari-hari seringkali memperbincangkan masalah mutu. Kita tidak menyadari
bahwa belum terdapat kesepakatan dikalangan para pakar mengenai mutu. Mutu
merupakan suatu konsep yang didasarkan pada ilusi dan bermakna individual. Oleh
karena itu, mutu memiliki maknayang sangat beragam dan berlainan bagi setiap
orang dan kriterianya pun berubah secara terus menerus tergantung pada
konteksnya. Mutu suatu terminologi yang subjektif dan relatif yang dapat
diartikan dengan berbagai cara di mana setiap definisi dapat didukung oleh
argumentasi yang sama baiknya.
Sebagai langkah
awal dalam mengetengahkan tentang rumusan atau konsep mutu pendidikan bahwa
konsep mutu pendidikan masih bersifat parsial dan individual. Mutu pendidikan
adalah berkembangnya potensi anak didik. Pendidikan dikatakan bermutu apabila
anak didik dapat mengembagkan potensi dirinya. Sedangkan menurut
Suryadi, mutu pendidkan adalah kemampuan lembaga-lembaga pendidikan
dan satuan pendidikan dalam mengelola dan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan
untuk meningkatkan kemampuan belajar. Lembaga-lembaga pendidikan dalam hal ini
adalah lembaga formal dan non-formal, lebih lanjut Suryadi[6] mengungkapkan bahwa pendidikan yang bermutu adalah dapat
menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dasar untuk belajar sehingga dapat
mengikuti bahkan menjadi pelopor dalam pembaruan dan perubahan.
Memperhatikan
dua pendapat di atas, nampak yang satu menekankan kepada berkembangnya potensi
peserta didik, dan yang satu lainnya lebih menekankan kepada kemampuan
lembaga-lembaga pendidikan dan satuan pendidikan, pendapat yang lebih lengkap
diungkapan oleh Soedijarto bahwa pendidikan yang bermutu yaitu suatu sistem
pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan pada berbagai jenjang dan jenis yang
memiliki kemampuan, nilai dan sikap, baik kemampuan intelektual, Profesional
dan emosional dan memiliki sikap jujur, berdisiplin, dan beretos kerja
yang tinggi, rasional, kreatif, memiliki rasa tanggung jawab kemanusiaan,
kemasyarakatn dan kebangsaan serta berakhlak mulia, beriman dan bertaqwa. Namun
demikian, menurut Tilaar bahwa pendidikan yang berkualitas bukan hanya
pendidikan yang mengembangkan intelegensi akademik, tetapi perlu mengembangkan
seluruh spektrum intelegensi manusia meliputi berbagai aspek kebudayaan.[7]
Kemudian
menurut Slamet[8],
untuk bis amenghasilkan mutu, terdapat empat usaha mendasar yang harus
dilakukan dalam lembaga pendidikan, yaitu: (1) menciptakan situasi
“menang-menang” (win-win solution) dan bukan situasi “kalah-menang” di antara
pihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholder); (2) perlunya
ditumbuhkembangkan motivasi intrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam
proses meraih mutu; (3) setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan
hasil jangka panjang, sehingga penerapan manajemen mutu terpadu dalam
pendidikan bukanlah suatu proses perubahan janka pendek, tetapi usaha jangka
panjang yang konsisten dan terus menerus ; (4) dalam menggerakan segala
kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, harus dikembankan
adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil
mutu.
C.
DAMPAK UN TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS ATAU MUTU PENDIDIKAN
Membicarakan peningkatan mutu
sebagaimana yang telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa pendidikan
dikatakan bermutu jika terdapat kesesuaian antara hasil yang diperoleh dengan
tujuan pendidikan yang secara konseptual digambarkan dalam GBHN menjadi 4 aspek
yaitu; 1) aspek agama; 2) aspek intelektual; 3) aspek politik; dan 4) aspek
individual.
UN secara yuridis merupakan amanat
PP 19 Tahun 2005 tentang system pendidikan nasional. UN sebagai upaya
pemerintah untuk melakukan penilaian terhadap kompetensi peserta didik dan
sekaligus pemetaan terhadap mutu program/satuan pendidikan yang ada di seluruh
wilayah Indonesia.
Pembahasan ini menjadi menarik jika
melihat polemik yang berkembang tentang pelaksanaaan UN di Negara ini tapi
untuk menjadi pembanding penulis ingin mengutip tulisan yang dimuat di Harian
Kaltim Post Edisi Rabu tanggal 21 Nopember 2007 dengan judul Mengakhiri Polemik
Ujian Nasional SD.[9]
Meski menuai pro dan kontra
kemendiknas tetap melaksanakan ujian nasional yang terintegrasi dengan ujian
sekolah (UNTUS) pada Sekolah Dasar (SD) mulai tahun 2008. Menariknya standar
kelulusan mata pelajaran yaitu Matematika, IPA dan Bahasa Indonesia tidak
dipatok oleh pemerintah pusat, tetapi sepenuhnya diserahkan pada kebijakan
masing-masing sekolah. pemerintah pusat hanya membuat soal yang porsinya 40%,
sementara sisanya 60% diserahkan pada pemerintah daerah. Criteria kelulusan
ditentukan melalui rapat dewan guru dengan mempertimbangkan nilai minimum dan
nilai rata-rata dari ketiga mata pelajaran yang diujikan. Selanjutnya peserta
akan diberi surat keterangan hasil UNTUS yang diterbitkan oleh sekolah.
Sebagai pembanding diungkapkan bahwa
kebijakan UNTUS bukalan hal yang baru, karena di Australia dan Amerika sudah
menerapkan model evaluasi tersebut. Secara berkala Negara tersebut melakukan
evaluasi kelulusan setiap tiga tahun sekali. Targetnya untuk mengetahui kemampuan
membaca, menulis dan berhitung. Singapura justru lebih konsisten menjaga
standar nilai ujian kelulusan mulai tingkat SD sampai SMA. Hasilnya Negara ini
terkenal dengan prestasi siswa yang gemilang sebagaimana terekam dalamThe
Third International Mathematics and Science Studies (TIMSS).
Memang pada akhirnya setiap sekolah
akan berbeda dalam penentuan standar kelulusan, meski demikian justru hal ini
menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengakomodir perbedaan kinerja setiap
sekolah. artinya penetapan standar kelulusan tidak memberatkan sekolah yang
unggul mutunya, maupu sekolah yang kebetulan bermutu rendah.
Dengan tidak bermaksud untuk
mengesampingkan pendapat tentang keberatan sebagian masyarakat tentang
pelaksanaan UN yang beragam baik yang dilihat dari sisi nilai-nilai pedagogis
karena hanya menguji kognitif saja, sisi psikologis karena menimbulkan
kecemasan pada peserta didik dan orang tua dan adanya “pemaksaan” untuk
menghapal pelajaran yang akan di UN kan maupun dari sisi social karena
munculnya kecurangan dalam bentuk “mark up” nilai untuk mempertahankan budaya
lulus 100% atas nama nama baik sekolah.
Perlu kiranya kita melihat beberapa
hal positif dari pelaksanaan UN diantaranya; 1) berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan Phelps (2001), Amrein dan Berliner (2003) menunjukkan bahwa
keberadaan ujian kelulusan meningkatkan prestasi akademik siswa untuk mata
pelajaran yang diujikan; 2) bisa menjadi barometer analisis sejauh mana daya
serap siswa terhadap isi kurikulum yang dipelajarinya.
Bila kita melihat dari sisi
peningkatan rata-rata nilai UN sebagaimana data yang dimuat dalam renstra
kemendiknas 2010-2014 sebagai berikut:
Tabel 1
Capaian
Pendidikan Dasar dan Menengah
Program
|
Indikator Kinerja
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
SD/MI/SDLB
Paket A
|
Rerata Nilai UN
|
-
|
-
|
-
|
-
|
7,03
|
SMP/MTs/SMPLB
Paket B
|
Rerata Nilai UN
|
5,26
|
6,28
|
7,05
|
7,02
|
6,87
|
SMA/SMK/MA/SMALB
Paket C
|
Rerata Nilai UN
|
5,31
|
6,52
|
7,33
|
7,14
|
7,17
|
Sumber:
Renstra Kemendiknas 2010-2014
Untuk tingkat kelulusan pada sekolah
SMP/MTs untuk 2 tahun terakhir yaitu 2009 dan 2010 mengalami penurunan,
sementara SMA mengalami peningakatan seperti dirangkum dalam table berikut:[10]
Tabel 2
Rekapitulasi
kelulusan SMP dan SMA
Tahun 2009
dan 2010
Program
|
Indikator Kinerja
|
2009
|
2010
|
||
Jumlah peserta
|
% kelulusan
|
Jumlah peserta
|
% kelulusan
|
||
SMP dan sederajat
|
Kelulusan
|
3.437.117
|
94,82
|
3.605.163
|
90,27
|
SMA dan sederajat
|
Kelulusan
|
1.517.013
|
93.74
|
1.522.195
|
99,04
|
Tahun 2010 masih ada sekolah di
tujuh daerah yang ketidaklulusannya 100 %, yakni masing-masing satu sekolah di
Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan
Maluku Utara, kemudian ada dua sekolah di KalimantanTengah dan Sulawesi Tengah.
Sementara itu persentase ketidaklulusan tertinggi dalam UN setelah UN ulangan
berdasarkan provinsi tahun ajaran 2009/2010 adalah NTT, yaitu sebanyak 2.425
siswa tidak lulus atau 5,55% . Menyusul berikutnya adalah Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan1.219 siswa (5,03 %), Kalteng 839 siswa (4,60 %) dan Bangka
Belitung 232 siswa (2,74 %). Sedangkan persentase ketidaklulusan terendah dalam
UN 2010 setelah UN ulangan adalah Jawa Barat, 17 siswa (0,01 %), Bali,17 siswa
(0,02 %), dan Sulut, 10 siswa (0, 03 %).
Sehubungan dengan peran pemerintah
sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 19 Tahun 2005 untuk melakukan pemetaan
mutu program dan/atau satuan pendidikan wakil mentri pendidikan nasional
menyatakan bahwa 25% soal UASBN digunakan sebagai dasar untuk pemetaan
pendidikan khususnya di tingkat sekolah dasar. Untuk sekolah yang memiliki
standar yang rendah akan dibantu untuk meningkat baik dari peningkatan
kompetensi guru atau peningkatan sarana prasarana sekolah.
Gagasan Kihajar Dewantara tentang
evaluasi pembelajaran setidaknya memberikan kita pada rambu-rambu pelaksanaan
UN yang seharusnya mencakup keseluruhan dari kerangka pendidikan kita. Memaknai
UN sebagai “pisau guletin” untuk mengeksekusi kemampuan belajar murid jelaslah
bukan keputusan yang tepat. Namun meniadakan evaluasi pembelajaran pada tingkat
nasional (semisal UN) juga merupakan tindakan fatalistic dan ekstrem.[11]
Ketika polemik yang berkepanjangan
mengenai Ujian Nasional di Indonesia masih berlangsung, pemerintah melalui
Kementerian Agama yang konon telah disetujui Kementerian Pendidikan Nasional
akan menerapkan kebijakan Ujian Nasional PendidikanAgama. Pada tahun 2011
ini akan diberlakukan UN Pendidikan Agama Islam (PAI), sedang UN bagi mata
pelajaran pendidikan agama lainnya kemungkinan juga akan diberlakukan
pada tahun-tahun berikutnya.
Dilihat sepintas, kebijakan tersebut
dianggap sebagai upaya untuk mengangkat ”martabat” pendidikan agama, agar
dengan di UN kan peserta didik lebih bergiat belajar agama sebagaimana mereka
bergiat belajar mata pelajarn lain yang selama ini telah di UN kan. Kebijakan
ini juga merupakan “proyek” yang dimaksudkan untuk mengetahui daya serap
dan pemerataan pendidikan agama Islam di seluruh wilayah Indonesia. Hal yang
lebih penting dan strategis dari UN adalah tindak lanjutnya yaitu untuk
peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu, UN dilaksanakan dengan prinsip
komprehensif, yaitu mencerminkan kesatuan proses belajar mengajar yang
dialami siswa dan meliputi tiga kompetensi dasar yakni kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Tentu saja kita sebagai
penyelenggara pendidikan, khususnya pendidikan swasta, tidak bermaksud a priori
terhadap kebijakan UN pendidikan agama. Tetapi, karena kebijakan tersebut
berimplikasi luas terhadap pendidikan, khususnya pendidikan agama, maka perlu
disikapi dan ditempatkan secara proporsional. Di sisi lain, kita berharap bahwa
pemerintah hendaknya tidak semata-mata menggunakan kekuasaannya dalam
menetapkan kebijakan UN pendidikan agama. Kita juga berharap, kebijakan UN
pendidikan agama bukan hanya merupakan “proyek” yang tidak memiliki landasan
akademik yang kuat, dasar yuridis yang jelas, dan pertimbangan sosio-kultural
masyarakat. Karena itu, meskipun UN pendidikan agama telah menjadi kemauan kuat
pemerintah, tetapi tidak dapat dipaksakan begitu saja dan masih perlu dikaji
dengan seksama
Pertanyaan mendasar berkaitan dengan
UN pendidikan agama adalah, apakah UN pendidikan agama merupakan kebijakan yang
tepat untuk mengangkat kedudukan pendidikan agama? Apakah UN pendidikan
agama merupakan pilihan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan secara
akademik untuk meningkatkan mutu pendidikan agama? Apakah penyelenggaraan
UN pendidikan agama telah memiliki landasan hukum yang kuat dan jelas? Apakah
UN pendidikan agama sesuai dengan aspek sosio-kultural masyarakat Indonesia
yang plural?
Benarkah UN pendidikan agama dapat
mengangkat kedudukan pendidikan agama dan menjadikannya menarik bagi peserta
didik? Persoalan pendidikan agama sebenarnya tidak tergantung pada
penilaiannya, melainkan ditentukan oleh prosesnya yang baik dan menarik. Dalam
catatan J. Riberu, pendidikan agama yang kadang-kadang kurang menarik bagi
siswa sebenarnya bukan karena ajaran-ajaran agama tidak bernilai bagi
peserta didik, melainkan karena cara penyajian yang kurang tepat. Sesuai
dengan pandangan ini, problem pendidikan agama tidak terletak pada cara
penilaiannya, melainkan tergantung cara penyajiannya. Dengan demikian,
substansi masalah pendidikan agama terletak pada persoalan metodologi, sehingga
dalih pemerintah menyelenggarakan UN pendidikan agama untuk maksud mengangkat
kedudukan pendidikan agama tidak tepat.
Berkaitan dengan alasan untuk
meningkatkan mutu pendidikan agama, menurut pendapat saya, kebijakan UN
pendidikan agama juga tidak berdasar yang kuat. Jika pemerintah memiliki
komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan agama, seharusnya terlebih dahulu
melakukan kajian secara ilmiah yang serius dengan melibatkan kalangan perguruan
tinggi. Dalam Laporan UNESCO The International Commission on
Education for Twenty-first Century disebutkan bahwa "memperbaiki
mutu pendidikan pertama-tama tergantung perbaikan perekrutan, pelatihan, status
sosial, dan kondisi kerja para guru”. Berdasar pernyataan tersebut, inti
permasalahan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, termasuk pendidikan agama
terletak pada mutu gurunya. Dengan demikian, untuk meningkatkan mutu pendidikan
agama tentunya harus dimulai dari peningkatan mutu guru pendidikan agama.
Selain pertimbangan di atas,
penyelenggaraan UN pendidikan agama belum memiliki dasar hukum yang kuat. Untuk
penyelenggaraan UN pendidikan agama, karena melibatkan Kementerian Agama dan
Kementerian Pendidikan Nasional perlu ada Surat Keputusan Bersama kedua
kementerian. Lebih dari itu, proses penetapan kebijakan UN pendidikan agama
juga perlu melibatkan stakeholders, termasuk para penyelenggara
pendidikan swasta. Dengan demikian, penyelenggaraan UN pendidikan agama tidak
terbebani muatan politik, apalagi kepentingan yang lain.
Tidak kalah pentingnya adalah
pertimbangan sosio-kultural. Penyelenggaraan pendidikan, termasuk pendidikan
agama harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa. Dalam undang-undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 4 secara tegas dinyatakan
bahwa “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
Meskipun pemerintah telah menetapkan
Standar Nasional Pendidikan, tetapi tidak berarti bahwa hak asasi manusia,
nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa hususnya berkaitan
dengan “keragaman materi” pendidikan agama sebagai realitas sosial bangsa
Indonesia dinafikan. Kita dapat menerima adanya standar kurikulum pendidikan
agama, tetapi satuan pendidikan dan penyelenggara pendidikan (khususnya
pendidikan swasta) memiliki hak yang dijamin undang-undang, termasuk berhak
memilih dan menentukan serta mengembangkan materi pelajaran agama. Jika
pendidikan agama diujikan secara nasional berarti dilakukan penyeragaman bukan
hanya dalam standar kompetensi, tetapi juga dalam materi pelajaran, sehingga
hak satuan pendidikan dan penyelenggara pendidikan tersebut diabaikan.
Dengan demikian, kebijakan UN pendidikan agama tidak sejalan dengan prinsip
penyelenggaraan pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang nomor 20
tahun 2003 tersebut.
Kita sepakat dan mendukung atas
setiap usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan, termasuk pendidikan agama.
Segala upaya peningkatan mutu pendidikan agama seharusnya dilaksanakan secara
sistematis dan memiliki kerangka dasar yang jelas. Sebab, upaya untuk
meningkatkan mutu pendidikan agama yang tidak memiliki landasan yang kuat,
sebagaimana halnya kebijakan UN pendidikan agama justru kontraproduktif,
merugikan masyarakat, dan pemborosan uang negara.
Sebelum kita memberikan argumen
antara setuju dan tidaknya diadakan USBN PAI, terlebih dahulu kita bahas
sebenarnya apa USBN PAI itu. Direktur PAI menjelaskan kronologi lahirnya
ujian mata pelajaran Pendidikan Agama Islam sekaligus menegaskan bahwa istilah
yang digunakan adalah USBN PAI. Jadi, USBN berbeda dengan Ujian Nasional
(UN) ataupun Ujian Sekolah (US). Menurutnya, kebijakan USBN PAI lahir
dilatarbelakangi antara lain untuk menaikkan derajat PAI, aspirasi guru PAI,
meningkatkan mutu PAI sebagai garda depan pendidikan moral dan ketakwaan, PAI
lebih sekedar sebagai mata pelajaran pelengkap, sampai pada rekomendasi Komisi
VIII DPR RI tahun 2008 yang menghendaki PAI diUNkan. Sifat USBN PAI juga bukan
sebagai penentu kelulusan melainkan hanya sebagai salah satu dasar pertimbangan
kelulusan peserta didik.
Adanya sedikit gambaran mengenai
USBN PAI di atas, maka kami dapat menimbang dan memutuskan untuk setuju
diadakannya ujian tersebut. Sesuai tujuan dan fungsi USBN dalam Pedoman Pelaksanaan
USBN PAI SD, SMP, SMA/SMK yang salah satunya untuk pembinaan dan peningkatan
mutu Pendidikan Agama Islam. Kita ketahui bahwa pada saat ini mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam cenderung disepelekan dan dikesampingkan. Hal ini
dikarenakan siswa cenderung konsentrasi pada Ujian Nasional seperti Matematika,
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan mata pelajaran lainnya sesuai dengan
jurusannya masing-masing. Kebijakan sekolah pun memperbanyak jam pelajaran yang
di UNkan tersebut sehingga mata pelajaran yang lain, bahkan Pendidikan Agama
Islam menjadi korban pengurangan jam mata pelajaran. Terbukti dari pengalaman
kami pada saat duduk di bangku SMA. Pada awalnya jam mata pelajaran PAI adalah
3 jam setiap minggunya, akan tetapi jam pelajaran PAI ini dikurangi menjadi 2
jam. Hal ini semakin memojokkan mata pelajaran tersebut. Kita ketahui bahwa
ilmu yang wajib dimiliki oleh setiap muslim adalah ilmu agama, sedangkan ilmu
yang lain hukumnya fardhu kifayah. Einstein pun pernah mengatakan bahwa “Pengetahuan
tanpa Agama adalah buta, Agama tanpa pengetahuan adalah lumpuh”. Hal
ini dapat disimpulkan bahwa antara ilmu dan agama harus berjalan secara
beriringan.
Banyak dari kalangan orang yang tidak setuju dengan USBN PAI memiliki alasan
bahwa dengan diadakannya Ujian tersebut justru akan menjadi kericuhan dan
perkelahian karena mengandung masalah furu’iyah. Setiap daerah memiliki
pandangan yang berbeda-beda mengenai agama. Alasan ini kurang kuat karena soal
yang mengandung masalah furu’iyah tidak dimasukkan dalam soal. Di samping itu
sesuai dengan pedoman pelaksanaan USBN PAI, disebutkan bahwa soal USBN PAI
ditentukan dengan cara menggabungkan 25% butir soal yang dibuat
Penyelenggara Tingkat Pusat dan 75% butir soal yang dibuat Penyelenggara Tingkat
Kabupaten/Kota.
Para kelompok yang tidak setuju diadakannya USBN juga beralasan bahwa dengan
diadakannya ujian ini maka akan cenderung mengutamakan pada aspek kognitif
saja. Padahal yang terpenting dari agama itu adalah afektifnya, atau perilakunya
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga belum kami terima alasannya karena di
dalam USBN PAI, yang diujikan tidak hanya pada aspek kognitifnya saja. Akan
tetapi psikomotoriknya pun diuji dengan diadakannya ujian praktek. Pada ranah
afektifnya, guru memberikan laporan dan penilaian kepada siswa mengenai
perilakunya di sekolah, dan hasil nilai tersebut diserahkan kepada
penyelenggara pusat. Jadi, apabila USBN PAI hanya mengembangkan kognitifnya
saja itu tidak benar.
Diadakannya USBN PAI justru akan lebih mudah dalam mengembangkan siswa dari
ranah kognitif, psikomotorik, maupun afektif. Dengan adanya ujian ini secara
otomatis jam mata pelajaran PAI di sekolah-sekolah akan ditambah. Apabila PAI
tidak diUSBNkan justru akan semakin sulit dalam mengembangkan aspek afektif
siswa. Rata-rata jam mata pelajaran PAI saat ini hanya 2 jam setiap minggunya.
Hal ini belum tentu cukup untuk memberikan materi pada diri siswa, apalagi
mengembangkan karakter siswa agar berakhlak mulia. Sebaliknya, dengan adanya
tambahan jam mata pelajaran ini, maka akan semakin banyak pula waktu yang
digunakan oleh guru PAI untuk membentuk kepribadian siswa. Di samping memiliki
pengetahuan agama yang lebih luas juga memiliki kesempatan yang besar pula
untuk memiliki akhlak yang mulia. Di sinilah tugas guru dalam membentuk
karakter anak tersebut.
Kami sengaja masuk jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan supaya bisa menjadi guru PAI. Ketika PAI diUSBNkan maka jam mata
pelajaranpun akan ditambah, dan ketika jam mata pelajaran PAI ditambah secara
otomatis akan membutuhkan guru PAI yang lebih banyak pula. Itu berarti
kesempatan kami menjadi guru PAI pun juga semakin besar. Sangat munafik apabila
kami menolak kesempatan yang ada ini. Dengan adanya kesempatan ini kita
memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menjadi guru, mendapat gaji yang
halal, bermanfaat bagi orang lain khususnya siswa, dan yang pasti insyaallah
mendapat pahala dari Allah SWT
DAFTAR PUSTAKA
Ki Hajar Dewantara, Bagian I;Pendidikan, Yogyakarta:Majelis
Luhur Persatuan Taman Siswa, 2004
Makmur A. Makka, Sirkus-sirkus
Demokrasi, Jakarta:The Habibie Center, 2006
Suwignyo Agus, Negara Minus
Nurani;Esai-esai Kritis Kebijakan Publik,Jakarta;PT.Kompas Media
Nusantara, 2009
Suryadi Ace, H.A.R. Tilaar, Analisis
Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar,Bandung:Rosda Karya, 1994
Slamet, Margono, Filosofi
Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu, Bogor;IPB
Press, 1999
Syah Muhibbin, Psikologi
Belajar, Jakarta:Rajawali Press, 2009
Tilaar H.A.R., Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, Jakarta:Rineka Cipta, 2000
-----------., Standar
Pendidikan Nasional, Jakarta:PT.Rineka Cipta, 2006
Wibowo Agus, Malpraktik
Pendidikan, Yogyakarta:Genta Press, 2008
Wiyono Teguh, Rekonstruksi Pendidikan
Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010
http://www.hariansumutpos.com/arsip/
http://www.depkominfo.go.id
[1] Teguh Wiyono, Rekonstruksi Pendidikan Indonesia,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010) h.101
[3] A. Makmur Makka, Sirkus-sirkus Demokrasi, (Jakarta:The
Habibie Center, 2006) h.84-85
[4] http://www.tempointeraktif.com/
[5] Agus Suwignyo, Negara
Minus Nurani; Esai-Esai Kritis Kebijakan Publik, (Jakarta:PT. Kompas Media
Nusantra, 2009) p. 222-225
[6] Ace Suryadi
& H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan
Pendidikan Suatu Pengantar (Bandung: Rosdakarya 1994), h. 163
[7] H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional
(Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h.14.
[8] Slamet,
Margono, Filosofi Mutu dan Penerapan
Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu, (Bogor: IPB Bogor, 1999), h.23
[9] Agus Wibowo,
Malpraktik Pendidikan, (Yogyakarta:Genta Press, 2008) h. 72-77
[10] Data ini merupakan
data gabungan dari Kominfo.Newsroomn tanggal 22/6/2009, 6/5/2010 dan 31/5/2010,
http://www.depkominfo.go.id
[11] K.H. Dewantara,
Bagian I; Pendidikan, Yogyakarta:Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 2004.
Cetakan ketiga
0 komentar:
Posting Komentar