PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PERGURUAN
TINGGI UMUM
Oleh:
SUPENDI
A.
PENDAHULUAN
Di Perguruan Tinggi Umum (PTU),
pendidikan agama termasuk kategori Matakuliah Umum (MKU) seperti Bahasa
Indonesia, IAD/IBD/ISD, yang biasanya dianggap kurang penting jika dibandingkan
dengan Matakuliah Jurusan/Program Studi. Hal Ini berbanding terbalik
dengan di IAIN. Sampai saat ini, IAIN tampaknya masih sibuk dengan
persoalan ilmu-ilmu agama Islam secara umum dan, di Fakultas Tarbiyah yang
membidangi pendidikan Islam, mereka tampaknya masih sibuk dengan persoalan
pendidikan Islam secara umum terutama di pesantren dan madrasah sehingga
pendidikan agama Islam di sekolah umum, apalagi di perguruan tinggi umum,
tersisihkan.
Akibat dari keadaan ini adalah bahwa
PAI di PTU, menjadi tak terbina sehingga arti pentingnya pun tidak
kelihatan. Ada atau tidaknya PAI di PTU seolah-olah
tidak memberi dampak
apa-apa bagi perilaku lulusan (wujuduhu
ka adamihi). Keberhasilan PAI di PTU sepenuhnya tergantung pada
kreativitas masing-masing dosen agama Islam yang bekerja di PTU itu
sendiri. Dosen agama yang kreatif dan berdedikasi tinggi mungkin akan
mampu menghasilkan program PAI di PTU yang mampu memberi pengaruh mendalam pada
diri mahasiswanya sementara dosen agama Islam yang kurang kreatif mungkin akan
menghasilkan program PAI yang ‘seadanya’, yang hanya memenuhi kewajiban formal
saja.
Permasalahan yang
sangat menonjol di perguruan tinggi umum adalah tidak adanya aturan yang jelas
pengintegrasian nilai-nilai Islami dalam tataran kebijakan maupun kurikulum,
walapun semua yang membuat kebijakan kebanyakan beragama Islam. Taruh saja, hal
kecil yang mungkin menjadi tolak ukur di perguruan tinggi umum adalah
masalah-masalah syari’at yang banyak diabaikan oleh mereka. Sebagai contoh
adalah shalat, padahal ini menjadi ukuran seorang muslim dalam hubungannya dia
dengan Allah Subhanahu wata’la dan hubungannya dengan manusia.
Padahal mereka diajarkan hal-hal yang menjadi kewajiban dan beban syari’at
seperti shalat, tapi itu dianggap sebagai sebuah beban, walapun hanya
membutuhkan waktu sangat sedikit sekali untuk menyelesaikannya, tidak lebih
dari sepuluh menit dari persiapan sampai selesai shalat. Tapi sangat susah
untuk dilaksanakan, apalagi akan sampai pada shalat tepat waktu.
Permasalahannya
adalah, tidak hanya sekedar tidak mendapatkan pendidikan Agama Islam yang baik,
tapi mereka mendapatkan pendidikan agama yang lumayan dan bahkan sangat baik.
Tapi mereka mendapatkannya bukan dari dosen mata kuliah pendidikan Agama Islam,
Dalam beberapa kasus kemudian mereka yang mendapatkan Pendidikan Islam melalui
halaqah-halaqah, menjadikan mereka sebagai penganut Islam yang sedikit agak
“keras” atau radikal. Dan dalam beberapa deretan target orang yang melakukan
bom bunuh diri, kebayakan dari mereka di perguruan tinggi umum yang mengikuti
halaqah-halaqah tertentu.
Sebenarnya
pendidikan Islam di perguruan tinggi umum saat ini masih belum maksimal, di
samping karena kehetrogenan mahasiswa /mahasiswinya dan dengan tingkat
pengetahuan agama yang berbeda-beda. Maka pada dasarnya harus juga dilakukan
pendekatan yang berbeda kepada mereka. Kecuali beberapa formulasi yang dianggap
bisa digeneralisasi, seperti shalat dan puasa pada tataran praktek. Tapi
seperti membaca al-Qur’an tidak dapat digeneralisasi, karena kemampuan
mahasiswa dan mahasiswi berbeda-beda, maka pendekatan yang dilakukan pun
berbeda-beda.
Pendidikan
Islam sendiri permasahan shalat dan puasa bukan menjadi permasahan
satu-satunya. Tapi di sini paling tidak menjadi sebuah indikator paling rendah
adalah shalat itu sendiri. Namun dalam memberikan gambaran tentang shalat
maupun yang lainnya bagi mereka yang masih awwam akan agama,
tidak dengan melakukan pendekatan halal dan haram. Karena secara praktis,
mereka belum tahu akan halal haram dalam agama. Diperlukan pemahaman tentang
kenapa orang harus berIslam dan mempraktekkan ajaran-ajaran Agama Islam. Sambil
memperkenalkan kepada mereka tentang praktek ajaran-ajaran Islam. Tapi terlebih
dahulu adalah memperkenalkan danmenyadarkan diri mereka akan Islam, sehingga
ada nilai dalam diri mereka yang dapat diinternalisasikan. Jika mereka sudah
memahami, maka akan sangat mudah untuk mengajak mereka ke arah yang lebih
kompleks.
Di
sini diperlukan perubahan mindset terlebih dahulu oleh seorang
dosen agar mahasiswa/mahasiswi mempunyai arah pemahaman yang sama akan apa yang
dipelajari dalam Pendidikan Agama Islam, sehingga paling tidak membuat mereka
sadar akan apa yang dipelajari, sehingga mahasiswa/mahasiswi dapat
memperkirakan tingkat kemampuan mereka akan Pendidikan Agama Islam yang
dipelajari.
Yang
tidak kalah penting adalah Perubahan kebijakan pendidikan agama Islam, baik
dari departemen yang membuat kebijakan terttinggi, sampai pada tataran
kebijakan di tingkat rektorat perguruan tinggi umum.
Kebijakan
dapat berupa mata kuliah Pendidikan Islam sendiri atau berkaitan dengan alpkasi
waktu dan dana untuk pengembangan Pendidikan Agama Islam. karena untuk memenuhi
kebutuhan internalisasi agama mahasiswa/mahasiswi diperlukan pendekatan yang
berbeda dan tidak hanya sekedar di dalam ruang kuliah. Mungkin diperlukan
kuliah tamu dari pakar tertentu, atau melakukan studi banding atau
kegiatan-kegiatan keagamaan yang dapat merangsang mreka untuk memahami Islam
lebih baik. Tingkat lembaga lah yang memerlukan mereka pada tahap awal, sehingga
diperlukan anggaran untuk mendukung kegiatan.
Untuk bisa keluar dari
masalah-masalah yang dihadapi oleh perguruan tinggi umum ini, maka ada beberapa
aspek yang harus diperbaiki agar pendidikan Islam dapat berjalan sesuai dengan
apa yang diinginkan. Antara lain; pertama, mengganti
dosen-dosen PAI dengan yang lebih kompeten. Dosen yang
kompeten menjadi bagian yang sangat penting dalam pengajaran Pendidikan Islam
di perguruan tinggi umum. Dosen Pendidikan Agama Islam di perguruan
tinggi harus mampu memberikan materi Agama Islam sesuai dengan porsi dan
pengetahuan mahasiswa/mahasiswi akan Islam sendiri. oleh karena itu, materi
diberikan dengan tidak mengenarilisasi mahasiswa, mereka harus dipisahkan
sesuai dengan pengetahuan mereka, mulai dari yang elementer sampai pada tingkat
pengetahuan yang lebih baik. karena dalam agama sendiri diberikan aturan akan
hal itu “ khatibu al-Nas ‘ala Qadri Uqulihim” (sampaikan sesuatu
sesuai dengan kadar akal manusia itu sendiri).
Kedua; sebagai sebuah upaya
pembinaan melalui pembiasan maka dosen Pendidikan Agama Islam perlu Mewajibkan
mahasiswa/mahasiswi menggunkan busana muslim saat mata kuliah Pendidikan
Agama Islam. hal ini perlu dilakukan karena sebagai sebuah upaya
perubahan sikap dari mahasiswa/mahasiswi, sehingga tidak hanya sekedar belajar
saja. ini juga sebagai sebuah aplikasi proses pembelajaran dengan praktik
karena dikatakan, “apa yang saya dengar maka saya lupa, dan apa yang saya lihat
maka saya paham, dan apa yang saya lakukan maka saya mengerti”. Ini
mengisyaraktkan bahwa untuk melakukan sebuah internalisasi nilai Pendidikan
Agama Islam itu sendiri dengan langsung mempraktekkan secara langsung, walapun
itu hanya sebatas pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam. akan lebih lebih
baik melakukannya walapun sedikit ketimbang tidak melakukan sama sekali. Pada
tahap ini tidak perlu pengetahuan Islam dengan sangat kompleks sampai pada
dalilnya, cukup mereka mengikuti dan nyaman dengan apa yang mereka pelajari dan
lakukan. Sedangkan dalil bisa dibelakangkan, cukup bagi mereka walapun hanya
sebatas taklid.
Ketiga; untuk lebih meratanya
pemahaman mahasiswa/mahasiswi pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam maka
perlu dilakukan pemilahan mahasiswa sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka. Memang
pekerjaan ini sangat sulit, apalagi dengan jumlah mahasiswa yang sangat besar,
tapi agar pemahaman mahasiswa tidak tumpang tindih, maka harus dilakukan.
Karena mahasiswa di perguruan tinggi umum tidak semuanya mempunyai latar
belakang agama yang baik, dan bahkan mungkin ada di antara mereka yang tidak
tahu agama sama sekali. Sehingga tidak mungkin mereka disatukan dengan
mahasiswa yang sudah mempunyai dasar. Karena bisa ada dua kemungkinan yang
terjadi, yaitu tidak dapat dicerna oleh mereka yang tidak mempunyai dasar atau
tidak menarik bagi mereka yang sudah mempunyai dasar keagamaan yang baik dan
ini akan memberikan citra yang tidak baik bagi dosen pendidikan agama Islam,
karena dianggap pengetahuannya hanya sampai di situ saja.
Keempat; Membuat materi sendiri
oleh dosen sesuai dengan tingkat pemahaman mahasiswa akan Pendidikan
Agama Islam sendiri. ini adalah rentetan langkah yang harus dilakukan di atas,
karena mahasiswa sudah dibagi sesuai dengan pengetahuan mereka, maka dosen
harus menyesuaikan materi dengan pengetahuan mereka, sehingga tidak mungkin
melakukan generalisasi materi pada tingkat perguruan tinggi umum untuk mata
kulian Pendidikan Agama Islam, karena melihat perbedaan pengetahuan mereka
tersebut.
Kelima; yang tidak kalah
penting adalah bagi perguruan tinggi yang mempunyai sumber daya dosen yang
tidak memadai perlu melakukan pembinaan kepada mahasiswa/mahasiswi yang
mempunyai pengetahuan agama yang baik. tujuan dilakukannya
pembinaan, agar mereka yang mempunyai pengetahuan yang baik sebelum masuk
perguruan tinggi dapat terus terjaga pengetahuan dan amal Islaminya. Sehingga
tidak terpengaruh oleh kehidupan kampus yang tidak baik, karena pengetahuan
yang mereka punya dihargai dan dimanfatkan dengan baik. di samping itu juga
dapat menyuplai tenaga yang kurang dengan kompleksitas pengetahuan
mahasiswa/mahasiswi itu sendiri.
B.
Regulasi Tenaga Dosen Pendidikan
Agama Islam
Mata kuliah Pendidikan
Agama Islam adalah mata kuliah yang lintas jurusan, ia harus dipelajari pada
semua jurusan dan prodi, maka dibutuhkan dosen Pendidikan Agama Islam yang
banyak. Apalagi untuk perguruan tinggi umum, dengan jumlah mahasiswa sampai
ribuan orang, maka tidak mungkin hanya mengandalkan dosen Pendidikan Agama
Islam beberapa orang saja. padahal pada mata kuliah lain, satu mata kuliah bisa
dipegang oleh dua orang dosen, sedangkan untuk Pendidikan Agama Islam sendiri
hanya oleh satu orang dan dengan jumlah kelas yang sangat besar. Ini tidak
mungkin dapat tercapai mutu yang baik pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Oleh karena itu, perlu
sebuah regulasi dan aturan dari pemerintah dan pada tingkat perguruan tinggi
untuk pengampu dosen Pendidikan Agama Islam. membuat regulasi batasan minimal
mahasiswa dengan ketersediaan dosen Pendidikan Agama Islam agar dapat tercapai
mutu yang baik, tidak hanya sekedar pemenuhan mata kuliah saja, seperti yang
terlihat selama ini. Regulasi tidak hanya berlaku pada perguruan tinggi umum
negeri saja, tapi swasta juga diberlakukan.
C.
Regulasi jam kuliah pendidikan agama
Islam
Pada tingkat perguruan
tinggi perlu dilakukan perbaikan waktu untuk mata kuliah Pendidikan Agama
Islam. karena selama ini banyak berlangsung mata kuliah Pendidikan Agama Islam
dengan model seminar dan pengajian umum dengan jumlah mahasiswa yang sangat
banyak sekali dalam satu ruangan. Dengan keadaan seperti ini sangat tidak
memungkinkan Pendidikan Agama Islam dapat bermutu baik dan memberikan pengaruh
pada mahasiswa, baik secara pengetahuan apalagi pada tingkat aplikasi.
Mata kuliah Pendidikan
Agama Islam harus diposisikan juga seperti mata kuliah lainnya. Tidak dijadikan
sebagai pelengkap saja, sehingga waktu perkuliahan juga harus sama, tidak pada
waktu-waktu tertentu di luar mata kuliah yang lain, sehingga terkesan tidak
penting.
D.
Kurikulum Pendidikan Islam perlu
perubahan
Karena perguruan
tinggi adalah lembaga yang tidak terikat oleh regulasi pemerintah pada
aspek-aspek tertentu, maka perguruan tinggi umum harus mampu membuat kurikulum
sendiri dan dosen sendiri yang mengembangkannya dalam proses perkuliahan.
Mungkin selama ini
dosen Agama Islam pada perguruan tinggi umum masih terikat dan tergantung oleh
bahan ajar dari pemerintah atau standar perguruan tinggi umum lainnya, padahal
keheterogenan mahasiswa/ mahasiswi tidak mungkin akan dilakukan penyamaan
pengetahuan kepada mereka. Sehingga perguruan tinggi perlu melakukan aturan dan
membaut sendiri jenjang-jenjang pengetahuan untuk bahan mata kuliah sesuai
dengan pemetaan pengatahuan mahasiswa. Tapi tentu harus dilakukan terlebih
dahulu pemilahan akan pengetahuan mahasiswa itu sendiri.
E.
Kebijakan pemerintah berkaitan
Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi umum.
Yang tidak
kalah penting adalah kebijakan pemerintah akan mata kuliah Pendidikan Agama
Islam sendiri. karena kalau berlandaskan item-item pancasila, maka memberikan
prioritas pada mata kuliah pendidikan agama Islam akan memberikan keuntungan
bagi pemerintah sendiri. permasalahan dekadensi moral anak muda menjadi
permasahann besar negara ini. Maka dengan mengoptimalkan Pendidikan Agama
Islam, akan dapat menimalisir penyelewengan-penyelewengan di kalangan anak
muda. Seperti, minuman keras, berjudi, konsumsi narkoba, pergaulan bebas, dan
yang tidak kalah penting adalah korupsi.
Pemerintah sudah
memberikan ruang yang sangat besar pada pendidikan karakter, tapi itu hanya
sebatas wacana. Karena pendidikan karakter tidak mempunyai landasan yang kuat
bagi individu-individu. Sehingga akan sangat sedikit kemungkinan bisa dapat
mencegah tindakan-tindakan amoral yang selama ini menjadi isu.
Akan sangat baik jika
pemerintah memaksimalkan Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi. Karena
agama sendiri mempunyai landasan yang kuat untuk membentuk keyakinan dan
kepribadian individu. Apalagi materi pendidikan karakter sudah tercakup semua
pada Pendidikan Agama Islam, pada konteks akhlak dan etika. Oleh karena itu,
tinggal melakukan penekanan pada aspek tertentu saja pada tingkatan pengetahuan
mahsiswa sendiri, sebagaimana yang harus dilakukan pada tahap awal.
Rekonstruksi Kurikulum PAI di
Perguruan Tinggi Umum Pasca pemerintahan Orde Baru
Pelaksanaan
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan Tinggi Umum (PTU) memperoleh landasan
yang kokoh sejak dikeluarkan Tap. MPRS No. II Tahun 1960 dan UU. Perguruan
Tinggi No. 22 Tahun 1961, yang mewajibkan pengajaran mata kuliah agama di
perguruan tinggi negeri. Dengan ketetapan tersebut, eksistensi PAI sebagai
sarana pembentukan kepribadian mahasiswa semakin kuat.
Sebagai
bagian dari kurikulum inti perguruan tinggi, mata kuliah PAI tentu tidak lepas
dari kontrol Pemerintah. Kurikulum PAI, dengan demikian, tidak bisa lepas dari
kepentingan politik yang sedang berkembang pada saat mana kurikulum itu
diberlakukan. Sehingga, perbedaan orientasi, visi dan misi sebuah rezim
pemerintahan, akan berimplikasi pada muatan kurikulum PAI itu sendiri.
Pada masa
Orde Baru, PAI di Perguruan Tinggi Umum berorientasi murni pada konsep-konsep
dasar ajaran Islam normatif. Domain pembahasannya meliputi tiga pilar utama
ajaran Islam, yakniakidah, syariah, dan akhlak. Inilah yang dijabarkan
dalam kurikulum PAI di PTU.
Apakah
kurikulum yang demikian masih tetap dipertahankan di era Reformasi? Berdasarkan
hasil penelitian ditemukan bahwa hingga tahun 2002 muatan kurikulum PAI di
Perguruan Tinggi Umum masih meneruskan materi yang telah diterapkan pada masa
Orde Baru, meskipun mata kuliah ini telah dimasukkan sebagai salah satu
kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Namun, sejak tahun 2002,
muatan kurikulum PAI di Perguruan Tinggi Umum mengalami perubahan yang cukup
drastis.
Pada bagian berikut, akan diuraikan
tentang bagaimana perbedaan yang ada antara kurikulum PAI di PTU tahun 2000
dengan kurikulum PAI di PTU tahun 2002.
F.
Perbedaan Paradigma
Kepmen Diknas Nomor: 232/U/2000, menetapkan
Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian hasil Belajar
Mahasiswa. SK ini menjadi dasar penyelenggaraan program studi di Perguruan
Tinggi yang terdiri atas (a) kurikulum inti, dan (b) kurikulum intruksional.
Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi terdiri atas (a) kelompok Matakuliah
Pengembangan Kepribadian (MPK); (b) kelompok Matakulaih Keahlian Berkarya
(MKB); Kelompok Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB). Mata kuliah
Pendidikan Agama termasuk dalam kelompok MPK seperti halnya PPKN.
Seiring dengan itu, dalam rumusan
penyempurnaan kurikulum mata kuliah PAI di Perguruan Tinggi Umum, dijelaskan:
Pendidikan
Agama Islam di Perguruan Tinggi bertujuan untuk membantu terbinanya mahasiswa
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berfikir filosofis, bersikap rasional dan dinamis, berpandangan luas, ikut
serta dalam kerjasama antar umat beragama dalam rangka pengembangan dan
pemanfaatan ilmu dan teknologi serta seni untuk kepentingan manusia dan
nasional (Nomor: 263/DIKTI/KEP/2000).
Rumusan di atas tampak berbeda
dengan rumusan yang terdapat dalam kurikulum PAI di masa Orde Baru. Sebagaimana
dideskripsikan dalam GBPP PAI bahwa mata kuliah PAI bertujuan:
Mengkaji
dan memberi pemahaman tetang hakikat manusia yang membutuhkan panduan hidup,
baik secara individu maupun sosial dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat. Dengan memahami dirinya dan alam semesta yang telah diberi aturan oleh
Penciptanya, aturan itulah yang disebut ayat kauniyah dan tanziliyah. Ayat
tanziliyah inilah yang dirinci pada bahasan akidah, syari’ah, akhlak dan
sejarah Islam. Penekanan utama ada pada aplikasi ajaran tersebut pada tingkah
laku keseharian, baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun dari sunnah
Rasulullah S.A.W (GBPP PAI dalam http://bima.ipb.ac.id).
Dengan
kondisi yang demikian, tidak dapat dihindari dominannya pendekatan doktriner dalam
proses pembelajaran PAI tersebut. Ajaran agama sebagai sesuatu yang harus
diimani, diterima tanpa kritik, dan merupakan barang jadi yang siap pakai.
Paradigma
kurikulum Pendidikan Agama Islam tahun 2000 tersebut masih merupakan kelanjutan
dari paradigma kurikulum Orde Baru. Wilayah keislaman terkesan begitu sempit,
seputar rukun iman dan rukun Islam ditambah dengan seperangkat aturan tata
krama dalam pergaulan sehari-hari. Dengan demikian, konsep keagamaan cenderung
bersifat statis karena sekedar melanjutkan tradisi teologis dari para ulama
terdahulu.
Mungkinkah paradigma yang demikian
ini sengaja ditanamkan penguasa pada masa Orde Baru untuk meredam kekuatan
oposisi yang bisa lahir dari pemahaman keagamaan yang dinamis. Kecurigaan
seperti ini tentu cukup beralasan, mengingat kurikulum merupakan produk dari
penguasa, dan bahwa umat Islam dalam sejarah Indonesia merupakan salah satu
kekuatan yang sangat diperhitungkan.
Paradigma Kurikulum PAI di PTU Tahun 2002
Perubahan
iklim politik di Indonesia pada masa-masa awal Orde Reformasi, konflik sosial
di berbagai daerah, serta lahirnya semacam fobia terhadap segala hal yang
berhubungan dengan Orde Baru, semua itu berimplikasi terhadap dunia pendidikan,
termasuk dalam hal ini kurikulum PAI di PTU.
Oleh
karena itu, jika pada konsep penyempurnaan kurikulum PAI tahun
2000 paradigma yang digunakan masih merupakan warisan Orde Baru maka pada
kurikulum 2002 paradigmanya sangat berbeda. Mata kuliah PAI di PTU tidak lagi
berbicara tentang rukun iman dan rukun Islam belaka (bahkan untuk materi ini
porsinya sangat minim), melainkan lebih dominan mengkaji tentang Islam dalam
kaitannya dengan isu-isu kontemporer, seperti, hak-hak asasi manusia,
demokrasi, hukum, sistem politik, masyarakat madani dan toleransi antar umat
beragama.
Dalam
Surat Keputusan Dikti Nomor 38 Tahun 2002 dinyatakan bahwa: “Visi Matakuliah
Kelompok Pengembagan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi menjadi sumber nilai
dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi dalam mengantar mahasiswa
mengembangkan kepribadiannya (Dikti, 2002: pasal 1).”
Selanjutnya, kompetensi dasar yang
ditargetkan adalah menguasai kemampuan berpikir, bersikap rasional dan dinamis,
berpandangan luas sebagai manusia intelektual (Dikti, 2002: pasal 3).
Sedangkan, untuk tujuan PAI di Perguruan Tinggi Umum, adalah:
Mengantarkan
mahasiswa sebagai modal (kapital) intelektual melaksanakan proses belajar
sepanjang hayat untuk menjadi ilmuwan yang berkepribadian dewasa yang
menjunjung tinggi kemanusiaan dan kehidupan (Dikti, 2002, pasal 3 ayat 1).
Dalam
rumusan di atas, tidak lagi ditemukan term “iman” dan “takwa” sebagaimana yang
ditekankan pada kurikulum sebelumnya. Sehingga jika rumusan tersebut dibaca
tanpa melihat judulnya, tentu tidak ada kesan yang mencerminkan bahwa itu
merupakan rumusan tujuan mata kuliah PAI.
Namun, dalam materi instruksional
PAI yang diterbitkan oleh Dipertais Departemen Agama RIpada tahun 2004
ditegaskan bahwa kompetensi PAI adalah mengantar mahasiswa untuk (1) mengusai ajaran
agama Islam dan mampu menjadikannya sebagai sumber nilai dan pedoman serta
landasan berpikir dan berperilaku dalam menerapkan ilmu dan profesi yang
dikuasainya; (2) menjadi “intellectual capital” yang beriman dan
bertakwa kepada Allah swt, berakhlak mulia dan berkepribadian Islami.[1]
Paradigma
yang mendasari kurikulum PAI tahun 2002 ini adalah paradigma yang melihat agama
sebagai sesuatu yang dinamis dan hidup dalam setiap aspek kehidupan. Agama
bukanlah sekedar seperangkat aturan normatif untuk memenuhi kebutuhan
spritualitas manusia. Agama adalah sebuah pandangan hidup, dan dengan demikian,
agama memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk cara pandang terhadap
realitas kehidupan. Dan karena realitas selalu dalam proses perubahan maka
konsep keagamaan haruslah bersifat dinamis dalam merespon kondisi kekinian.
Krisis
multidimensi yang melanda Indonesia di era reformasi, menghendaki lahirnya
perubahan paradigma dalam berbangsa dan bernegara. Penghargaan terhadap hak-hak
asasi manusia, penegakan demokrasi, supremasi hukum, dan pemberdayaan
masyarakat sipil, merupakan agenda penting reformasi yang mesti “dibudidayakan”
melalui pendidikan.
Di samping
itu, konflik sosial yang terjadi di berbagai daerah di tanah air, menuntut
peninjauan ulang terhadap cara pandang kita terhadap pluralisme agama, budaya,
suku dan etnik. Yang dibutuhkan adalah kesepahaman dalam perbedaan dan bukannya
menciptakan keseragaman dalam keragaman sebagaimana yang dilakukan di masa Orde
Baru.
Berangkat
dari paradigma baru ini, muncullah konsep pendidikan agama yang berwawasan
kultural, seperti yang ditawarkan Zakiyuddin Baidhawy dalam bukunya Pendidikan
Agama Berwawasan Multikultural. Konsep ini menawarkan pendekatan dialogis
untuk menanamkan kesadaran hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan,
dibangun atas semangat kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling
memahami, menghargai persamaan, perbedaaan, keunikan dan independensi.[2]
Model pendidikan semacam ini memberikan konstruk baru yang bebas dari prasangka
dan stereotipe mengenai agama orang lain, bebas dari bias dan
diskriminasi atas nama apapun, baik itu agama, jender, ras, warna kulit,
kebudayaan, maupun kelas sosial.
Lebih
lanjut beliau menegaskan bahwa klaim berlebihan tentang kebenaran absolut
kelompok keagamaan sendiri, dan klaim kesesatan atas kelompok-kelompok agama
lain, berpotensi meningkatkan sentiment permusuhan antar umat beragama.
Penganjur-pengajur dengan pendekatan teologis dogmatis semacam ini dapat dengan
mudah membawa dan memicu konflik dan kekerasan pada level pengikut. Dan anehnya,
semua mengatasnamakan Tuhan.[3]
Pendekatan
multikultural dalam pendidikan agama mendapat dukungan luas dari kalangan
akademis, sebagai sebuah pendekatan yang tepat dalam merespon konteks sosial
masyarakat Indonesia yang pluralis.
Demikianlah, bila dibandingkan
dengan kurikulum tahun 2000, dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran
paradigma yang sangat tajam pada kurikulum PAI di Perguruan Tinggi Umum tahun
2002.
Kepentingan politik, tentu saja
memiliki andil dalam hal ini. Penulis beranggapan bahwa pembaruan kurikulum
ini, di samping diperuntukkan untuk menyukseskan agenda reformasi dalam hal
penegakan HAM, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat sipil, serta memupuk
kesadaran akan pluralisme, juga untuk meredam lahirnya kelompok-kelompok
radikal yang berbasiskan Islam. Seperti diketahui, isu terorisme yang ditujukan
kepada kelompok-kelompok Islam “radikal” di Indonesia, merupakan salah satu
masalah yang mendapat perhatian ekstra serius dari pemeritah Indonesia di era reformasi.
Bahkan kelompok-kelompok Islam “radikal” di Indonesia mendapat “pengawasan
khusus” dari dunia international.
Perbedaan Materi Kurikulum
Materi PAI di PTU pada Kurikulum
Tahun 2000
Pada
penyempurnaan kurikulum Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, sesuai
dengan Keputusan Dikti Nomor:263 tahun 2000, materi pembahasannya terdiri dari
9 pokok bahasan dengan beberapa sub bahasan masing-masing, sebagaimana yang
terlihat pada tabel 1.
Materi
yang disajikan masih terkonsentrasi pada tiga domain utama ajaran Islam, yakni
Akidah, syari’at dan akhlak. Tampak jelas adanya pengulangan dari materi
Pendidikan Agama Islam pada tingkat dasar dan menengah, sehingga pada dasarnya
materi PAI di tingkat perguruan tinggi dapat dianggap sebagai pematangan dari
materi mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang telah dipelajari sebelumnya
pada tingkat SLTA ke bawah. Perbedaan yang tampak hanya pada aspek penghayatan
terhadap nilai-nilai (hikmah) yang terkandung dalam ajaran Islam itu, seperti
hikmah salat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan yang terkait dengan akidah
masih berkisar pada persoalan rukun iman.
Meskipun
persoalan HAM telah disinggung dalam materi kuruikulum PAI tahun 2000 tersebut,
namun tidak dikaji secara mendalam, melainkan sekedar pelengkap dalam materi
pembahasan tentang akhlak dan takwa.
Dengan
memperhatikan pokok bahasan dan sub pokok bahasan pada tabel 1 di bawah ini,
dapat dipahami bahwa mata kuliah PAI dalam kurikulum tahun 2000 lebih banyak
menggunakan pendekatan teologis doktriner.
Tabel 1. Materi Pokok Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi Umum Berdasarkan SK. Dikti No. 263 tahun 2000
No.
|
Pokok Bahasan
|
Sub Bahasan
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
|
Manusia dan Agama
Agama Islam
Sumber Ajaran Islam
Kerangka Dasar Ajaran Islam
Akidah
Syariat, Ibadah dan Muamalah
Akhlak
Takwa
Ilmu Pengetahuan dalam Islam
|
a. Macam-macam ciptaan Allah
b. Manusia makhluk Allah yang
paling sempurna
c. Kebutuhan manusia akan
pedoman hidup
a. Macam agama dan kedudukan
agama Islam
b. Peranan agama Islam dalam
menentramkan batin dan membawa kedamaian
a. Sistematika sumber ajaran
Islam
b. Penggunaan akal sebagai
sumber ajaran Islam
a. Akidah, syariat dan akhlak
b. Agama Islam dan Ilmu-ilmu
keislaman
c. Filsafat, tasawuf dan
pembaharuan dalam Islam
a. Arti dan ruang lingkup
akidah
b. Kemaha-esaan Allah
c. Kiamat, hukum alam dan
akhirat
d. Peranan malaikat dan
makhluk gaib lainnya serta pengaruhnya terhadap manusia
e. Tugas dan peranan nabi dan
rasul
f. Fungsi kitab suci yang
dibawa rasul bagi umatnya
g. Pengertian kada dan kadar
a. Pengertian dan ruang
lingkup syariat Islam
b. Pengertian, tujuan,
kedudukan dan hikmah ibadah dalam Islam
c. Arti salat dan hikmahnya
bagi kehidupan
d. Pelaksanaan dan hikmah
puasa
e. Pelaksanaan dan hikmah
zakat
f. Pelaksanaan dan hikmah
haji
g. Muamalah dalam Islam
h. Kewarisan dalam Islam
i. Prinsip kerja sama umat
beragama
a. Pengertian dan ruang
lingkup akhlak yang menghormati HAM, serta perbedaannya dengan moral dan
etika
b. Akhlak terhadap Allah,
manusia dan HAM serta lingkungan hidup
a. Pengertian, ruang lingkup
dan kedudukan takwa yang menghormati HAM
b. Hubungan manusia dengan
Allah
c. Hubungan manusia dengan
sesame manusia
d. Hubungan manusia dengan
diri sendiri
e. Hubungan manusia dengan
lingkungan hidup
a. Kedudukan akal, wahyu dan
ilmu dalam Islam
b. Klasifikasi dan
karakteristik ilmu dalam Islam
c. Kewajiban menuntut ilmu
d. Disiplin ilmu dalam Islam
|
Sehubungan dengan hal tersebut, pada
tahun 2004 Dipertais Depag menerbitkan buku pedomanMateri Instruksional
Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Dalam buku ini terdapat 9
materi pokok yang selanjutnya diuraikan dalam beberapa sub bahasan, sebagaimana
yang dipaparkan pada tabel 2 berikut ini:
Tabel 2. Materi Pokok Pendidikan
Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum Berdasarkan SK. Dikti No. 38 tahun 2002
No.
|
Pokok Bahasan
|
Sub Bahasan
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
|
Tuhan Yang Maha Esa dan Ketuhanan
Hakekat Manusia Menurut Islam
Hukum, HAM dan Demokrasi dalam
Islam
Etika, Moral, dan Akhlak
Ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni
Kerukunan antar umat beragama
Masyarakat Madani dan
Kesejahteraan Umat
Kebudayaan Islam
Sistem Politik Islam
|
a. Filsafat ketuhanan dalam Islam
b. Keimanan dan ketakwaan
c. Implementasi iman dan takwa dalam kehidupan modern
a. Konsep Manusia
b. Eksisitensi dan martabat manusia
c. Tanggung jawab manusia
a. Hukum Islam merupakan bagian dari Agama
b. Ruang lingkup hukum Islam
c. Tujuan hukum Islam
d. Sumber hukum Islam
e. Konstribusi umat Islam dalam perumusan dan
penegakan hukum di Indonesia
f. Fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat
g. HAM menurut ajaran Islam
h. Demokrasi dalam Islam
a. Konsep etika, moral, dan akhlak
b. Hubungan tasawuf dengan akhlak
c. Indicator manusia berakhlak
d. Akhlak dan aktualisasinya dalam kehidupan
a. Konsep ipteks dalam Islam
b. Integrasi, iman, ilmu dan amal
c. Keutamaan orang beriman dan berilmu
d. Tanggung jawab para ilmuwan terhadap alam dan
lingkungan
a. Agama Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam
b. Ukhuwah islamiyah dan ukhuwah insaniyah
c. Kebersamaan umat beragama dalam kehidupan sosial
a. Konsep masyarakat madani
b. Peran umat Islam dalam mewujudkan masyarakat
madani
c. Sistem ekonomi Islam dan kesejahteraan umat
d. Manajemen zakat
e. Manajemen wakaf
a. Definisi kebudayaan Islam
b. Sejarah intelektual Islam
c. Nilai-nilai Islam dalam budaya Indonesia
d. Masjid sebagai pusat peradaban Islam
a. Pengertian politik Islam
b. Nilai-nilai dasar sistem politik dalam Alquran
c. Ruang lingkup pembahasan siyâsahdusturiyyah
|
Uraian
materi PAI di atas menunjukkan wawasan yang lebih luas sebagai sebuah pandangan
hidup yang dinamis dan selalu berdialog dengan konteks sosial. Tidak lagi
mengulang-ulang materi pelajaran SLTA ke bawah yang terbatas pada
persoalan-persoalan rukun iman dan rukun Islam.
Pendidikan Agama Islam di era
sekarang, sebagaimana diungkap al-Faruqi[4]
dihadapkan
kepada perubahan yang mendasar, terutama mempersiapkan peserta didik yang
nantinya akan berintegrasi dengan masyarakat yang berasal dari berbagai macam
latar belakang budaya dan agama. Untuk mendapatkan hasil maksimal dari sebuah
proses pendidikan agama, ada dua hal sebagai “pekerjaan rumah (PR)”, terutama
pendidik agama Islam, yakni: para pendidik tersebut sudah saatnya membutuhkan
pengertian yang mendalam dan harus merasa peka terhadap isu-isu pemahaman
keagamaan yang sedang berkembang dalam masyarakat umum. Selanjutnya, para
pendidik ini harus bisa membantu peserta didik untuk menyadari pentingnya
memahami budaya yang bermacam-macam dalam masyarakat, khususnya di bidang
keagamaan.
Jika tidak demikian, tampaknya lembaga pendidikan sulit
berpartisipasi dalam menengahi model-model pemahaman Islam radikal yang sering
dituduh sebagai penyulut munculnya ketidaknyamanan dalam masyarakat beragama.
Lembaga-lembaga pendidikan, terutama di masa akan datang, harus bisa
memproduksi sarjana Islam yang berpikiran moderat untuk mewadahi berbagai macam
pemahaman yang cenderung radikal itu. Untuk mengujudkan itu, seluruh unsur
sistem pendidikan Islam, khususnya pembelajaran agama Islam, sebaiknya ditelaah
kembali.[5]
Berbagai
upaya untuk mengembangkan materi PAI di Perguruan Tinggi Umum saat ini terus
digalakkan dengan mengacu pada spirit salah satu di antaranya adalah Pendidikan
Agama Islam yang berwawasan multikultural.
DAFTAR PUSTAKA
al-Faruqi,
1968. dalam Jurnal of Ecumenical Studies, volume 5,
No. 1, Winter.
Arifin,
Anwar. 2003. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam
Undang-undang Sisdiknas. Cet. ke-3. Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama Islam
Depag.
Bachtiar, Wardi. 1997. Metodologi
Penelitian Ilmu Dakwah. Cet.ke-1. Jakarta: Logos.
Baidhawy,
Zakiyuddin. 2007. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta:
Erlangga
Bodgan,
Robert dan Steven J. Taylor. 1975. Instrduction to Qualitative Research
Method. New York John Wiley & Sons.
Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 2004. Materi
Instruksional Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Jakarta:
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI.
Ellis, Arthur K., et al.,
1986. Introduction to the Foundation of Education. New Jersey:
Prentice-Hall, Engliwood Cliffs.
Garis-garis
Besar Program Pengajaran Pendidikan Agama Islam dalam http://bima.ipb.ac.id/~tpb-ipb/gbpp/gbpp-agamaislam. diakses 11
Oktober 2008
Keputusan
Dikti Nomor: 263/DIKTI/KEP/2000 tentang penyempurnaan kurikulum inti Mata
kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama pada Perguruan Tinggi di
Indonesia. Depdiknas, 2000
Keputusan
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI, Nomor:
38/DIKTI/KEP/2002 Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Mubarak,
Zaki. 2008. Geneologi Islam Radikal di Indonesia, Gerakan, Pemikiran dan
Prospek Demokrasi.Jakarta: LP3ES.
Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Edisi ke-4, Cet. ke-1. Yogyakarta: Rake
Sarasin.
Mun'im
DZ, Abdul. 28 September, 1998. Reformasi Budaya untuk Reformasi
Total. Kompas.
Pusat
Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan.
2004. “Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah” dalam http://elcom.umy.ac.id.,
diakses 11 Oktober 2008
Rahman,
Darmawan Mas'ud, 2004. "Nilai Budaya dan Konflik: Sebuah Kajian Singkat
Diamati dari Sudut Budaya Kekinian", Makalah disampaikan dalam seminar
sehari STAIN Datokarama Palu, 20 Desember.
[1] Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama
RI,. Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi
Umum. (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen
Agama RI, 2004), h. vii
[2] Baidhawy,
Zakiyuddin..Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. (Jakarta:
Erlangga, 2007), h. 48.
0 komentar:
Posting Komentar