Internet,
Cyberspace vis a vis
Pendidikan
Agama
By; Supendi
Pendahuluan
Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia
sangat berhutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkat kemajuan
dibidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat
dan lebih mudah termasuk beberapa bidang dalam kehidupan manusia seperti
kesehatan, pengangangkutan, pemukiman, komunikasi serta pendidikan. Namun
kemudian apakah persoalan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu bebas nilai?
Sehingga segala persoalan sudah terjawab.
Cukup
banyak defenisi dari istilah ini, diantaranya adalah seperti yang disampaikan
oleh Williams dan Sawyer (2003). Teknologi Informasi adalah teknologi yang
menggabungkan komputasi (komputer) dengan jalur komunikasi yang membawa data,
suara ataupun video. Sedangkan Menurut Haag dan Keen (1996), teknologi informasi adalah
seperangkat alat yang digunakanuntuk
membantu tugas-tugas yang berhubungan dengan pemrosesan data.
Teknologi
informasi ini merupakan subsistem dari sistem informasi (information system).
Terutama dalam tinjauan dari sudut pandang teknologinya. Salah satu ciri khusus
dari bidang ilmu Teknologi Informasi adalah fokus perhatian bidang ilmu
tersebut yang lebih bersifat aplikatif. Bidang ilmu teknologi informasi lebih
mengarah pada pengelolaan data dan informasi dalam sebuah enterprise
(perusahaan atau organisasi kerja lainnya), dengan pemanfaatan teknologi
komputer dan komunikasi data serta lebih menekankan pada teknik pemanfaatan
perangkat-perangkat yang ada untuk meningkatkan produktifitas kerja. Dalam
perkembangannya sejalan dengan paradigma ekonomi baru, maka teknologi informasi
menjadi senjata yang handal dalam meningkatkan komunikasi dan interaksi
enterprise dengan stake holdernya.
Teknologi informasi
adalah bagian dari budaya barat yang acapkali berbenturan dengan kultur
ketimuran. Masuknya akses informasi tanpa batas dari luar akan merubah perilaku
baik secara positif maupun negatif. Dalam hal ini diperlukan filter sosial dan
teknologi yang kuat untuk menahan nilai negatif yang dibawa oleh budaya asing
tersebut;
Melihat kembali fakta sejarah dan kilas balik tahap-tahap pertama
petumbuhan ilmu pengetahuan sudah berkaitan dengan tujuan ekspansi antar
manusia, antar bangsa satu ke bangsa lainnya, pesatnya perkembangan ini sebagai
bentuk inovasi penjajahan yang tujuannya untuk menguasai dan memperbudak massa.
Artinya dalam masa perkembangannya ilmu pengetahuan dan teknologi acap
kali melupakan factor manusia, bukan lagi berkembang seiring dengan kebutuhan
manusia tapi justru sebaliknya manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri
dengan perkembangan teknologi. Sungguh ironi, dan ini merupakan salah satu
factor yang menjadi tantangan tersendiri bagi keberadaan umat manusia. Ini
adalah sebuah mega proyek yang harus dibayar mahal oleh manusia sendiri yang
kehilangan sebagian arti dari kemanusiannya.
Revolusi dibidang teknologi memang sangat luarbiasa, fenomena ini
menjadi salah satu subjek penggerak dunia dan menjadi motor setiap entitas
kehidupan. Sebuah energi mekanis dampak dari revolusi teknologi ini secara
geologis sudah menyentuk jauh hingga pelosok terdalam sebuah wilayah, tak
terkecuali di Indonesia dengan peta wilayah yang sangat multi tekstur pun
jangkaun teknologi mekanis ini telah merasuk di dalamnya.
Perkembangan teknologi ini sesungguhnya telah melampaui dua tahap
perkembangannya sebuah penjelasan yang cukup mendalam oleh Erich Fromm (Rais,
1979:112) dalam The revolution of Hope yakni Tahap pertama ditandai dengan
digantikannya energi semua makhluk hidup (hewan dan manusia) oleh energi
mekanis (uap, minyak, listrik dan atom). Pengaruh sumber-sumber energi mekanis
baru ini menjadi awal sebuah perubahan radikal yang fundamental dalam sebuah
produksi. Inilah salah satu ancaman dan perubahan yang tidak serta-merta
disadari oleh manusia sendiri. Ada beberapa alasan yang menurut saya logis
selain energi mekanis yang menjadi sumber pengganti ini sebenarnya bukan
kategori energi alternative namun peran dan kontribusi yang signifkan dalam
masa awal-awal perkembangannya untuk membantu dan menyelesaikan cepatnya
kebutuhan dan laju pertumbuhan berbagai bidang ekonomi, social budaya dan
ekspansi wilayah, menjadikan sumber energi mekanis ini menimbulkan
ketergantungan akut pada pemenuhan kebutuhan manusia.
Sedangkan tahap kedua tidak saja diindikasikan dengan beralihnya fungsi
living energy menuju mechnical energy , tatapi juga digantikannya fikiran
manusia (human thought) oleh pikiran mesi (the thingking of machines). Inilah
awal lahirnya teknologi informasi yang luar biasa dan berkembang pesatnya duni
cyber dan internet pada penghujung abad ke-20, dan sampai saat ini mendominasi
berbagai aktivitas yang multi dimensional.
Internet adalah hasil olah
teknologi informasi yang berkembang begitu cepat, sejak kemunculannya di USA,
yang sebelumnya merupakan teknologi militer terbatas telah menjadi teknologi
massa yang mengglobal. Di dalamnya internet membangun komunitas dirinya dengan
sebutan virtual reality atau dunia maya (cyberspace). Pada akhirnya kita bertanya: Ke manakah teknologi komputer akan membawa
kehidupan spiritual kita? Tak ada yang tahu secara pasti. Internet adalah media
dengan dualitas fungsi, ia adalah pisau bermata dua. Thomas E. Miller, seorang
Buddha Tibet yang menjabat di Biara Namgyal New York menjelaskan bahwa:
“...demikianlah cyberspace dirancang. Ia membangkitkan potensi sesuatu,
dan sifat yang akan dibangkitkan itu bergantung pada motivasi penggunanya.”
Di tengah situasi ini, muncul perkembangan terbaru
yang bisa kita sebut sebagai revolusi atas realitas. Revolusi itu merubah
secara drastis pemaknaan kita atas realitas. Cyberspace merubah pengalaman
orang bersentuhan dengan realitas, merubah cara kita mengalami realitas.
Realitas tidak hanya berisi segala sesuatu yang nyata tapi juga dapat berupa
realitas imajiner, realitas virtual yang ternyata memberikan pengalaman yang
tak kalah nyata dengan realitas yang sebenarnya. Realitas baru ini menawarkan
sebuah dunia baru, sebuah dunia tanpa batas yang mampu menggantikan apapun yang
dapat kita lakukan di dunia nyata, bahkan lebih jauh ia mampu menawarkan apa
yang dalam dunia nyata hanya berupa imajinasi dan halusinasi. Inilah zaman
baru, zaman ketika dunia ini terbagi dalam dua realitas; realitas “nyata” dan
realitas maya atau realitas virtual (virtual reality).
Melihat geliat dan banyak sekali peran keja manusia yang tereduksi dalam
penggunakan teknologi, seiring pesatnya dunia informasi, serta semakin kuatnya
cakar dunia maya (cyber space) tentu pengaruh segala aspek kehidupan pun
mendapat pengaruh signifikan termasuk berpalingnya arah dan definisi Manusia,
Agama dan Pendidikan. Kiblat agama dan nuansa pendidikan didalamnya serta pola laku masyarakat pun kian berubah, banyak
kecenderungan yang bisa terjadi secara positif maupun negative, juga membawa
arus deras perubahan dunia.
Ontologi
Perkembangan Dunia Cyber dan Pendidikan
Memaknai dan mendefinisikan pendidikan juga bisa dilihat dari proses
ontology yang berkembang pada masa kekinian, ini adalah tinjauan yang lebih
filosofis mendasar untuk melihat begaimana tanggung jawab keilmuan itu
bergantung dengan periodisasi masa, melihat perkembangan kekinian perkembangan
dunia teknologi dan komunikasi atau yang lebih sepesifik dunia internet atau
cyberspace (dunia maya) yang sangat intoleran dengan semangat perkembangan
Pendidikan Agama. Ada beberapa alasan pertama kurangnya fleksibilitas dunia
pendidikan. Kedua factor human interest dan human need yang saling tarik menarik.
Menjadi problem internal pendidikan saat dihadapkan dengan realitas dunia cyber
yang semu serta absurd.
Menurut Pranyoto Setyoatmodjo (1988) makna filosofis ilmu pengetahuan
sendiri secara teoritis dan diklasifikasi secara sistematik dalam prinsip umum.
Ilmu merupakan usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu system mengenai
kenyataan, sejah yang dapat dijangkau daya pikiran dibantu dengan penginderaan
dan kebenarannya diuji secara empiris melalui suatu penelitian ilmiah. Membaca
pendapat ini maka menyandingkan pendidikan dengan dunia maya pada tataran
empiris tidak menjadi persoalan kembali kepandangan Mark Slouka terhadap jagad
maya yang banyak sekali menenggelamkan para penganutnya dalam lautan kata tanpa
makna. Dengan memberi nilai lebih pada setiap system yang ada dilamnya meberi
nutrisi dalam memberikan status nilai dan ini menjadi langkah proses transmisi
dunia maya (cyber space) kedalam dunia pendidikan yang empiris.
Karena hari ini dunia cyber tidak bisa lepas dengan aktifitas manusia maka
sama halnya dengan pendidikan yang semestinya merupakan aktifitas manusia yang
tidak bisa terlepas dari pola, tingka dan laku dalam kehidupannya. Dapat
dartikan bahwa ilmu dan pendidikan adalah aktivitas manusiawi yang oleh the
liang Gie diartikan perbuatan manusia yang tidak hanya merupakan aktivitas
tunggal, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan sebuah proses
yang bersifat rasional, kognitif dan teleologis.
Rasional berarti kegiatan yang mempergunakan kemampuan berpikir secara
logis dan obyektif, sedangkan kognitif berarti suatu rangkain aktivitas
pengenalan pengkonsepsian dan penalaran sehigga manusia dapat mengetahui
tentang suatu hal. Dan teleologis dapat
diartikan ilmu dan pendidikan sendiri bukan tujuan utama, malainkan seabgai sarana
untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari urain ini kita dapat menarik sebuah simpulan yang intinya
bergeraknya dunia dengan dorongan pengetahuan sangat kuar merefleksikan nilai
pendidikan. Secara otologis pendidikan dapat diartikan sebagai pemberian identitas
terhadap nilai pendidikan yang inheren didunia maya, mengapa ini menjadi urgen
dinia maya sudah menjadi dunia sendiri yang berdiri otonom, manusia yang ada
didalamnya juga merubah identitas dirinya untuk menempatan dirinya setara.
Secara ma’nawi menjadikan dirinya masuk kedalam alam nirrealitas yang absurd
menjadi kan komunitas besar yang tergabung didalam dunia cyber ini kehilangan
identitas esensialnya. Maka nilai yang harus ditanamkan dalam pendidikan pun
demikian tidak mengambil jarak dalam transfuse ilmu pengetahuannya tapi
melakukan akselerasi mendalam.
Ekspansi
negative dunia cyber
Sebut saja, facebook sebagai layanan media
jejaring sosial yang dimotori oleh mahasiswa Harvard University, Mark
Zuckerberg dkk, telah berhasil menghadirkan satu dunia virtual tersendiri bagi
umat manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan pribadinya. Fenomena facebook saat
ini menyadarkan saya khususnya bahwa internet
empire (kerajaan internet) secara berkala telah melampau
kedigdayaan kerajaan-kerajaan besar pada masa lampau, seperti Byzantium,
Romawi, Muawiyah, Abbasiyah, Turki Utsmani, Mughal, dan kerajaan besar lainnya
dalam hal “wilayah jajahan”.
Salah satu
contoh kejadian beberapa waktu
yang lalu tentang muncul fatwa tentang Facebook. Forum
Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMPP) se-Jawa Timur mengharamkan penggunaan
jejaring sosial seperti friendster dan facebook yang berlebihan.
Berlebihan itu antara lain jika penggunaannya menjurus pada perbuatan
mesum dan yang tidak bermanfaat.( Kompas, 22 Mei 2009) Tak ayal, fatwa keharaman facebook memicu kontroversi
di media. Kontroversi terjadi karena, selain facebook sudah menjadi ikon baru
persahabatan di dunia maya yang membuat jutaan penggunanya keranjingan, juga
karena distorsi informasi oleh media yang cenderung hanya menekankan pada
statemen keharaman facebook dan menghilangkan syarat ‘jika digunakan secara
berlebihan’.
Artinya
perlu respon positif tentang perkembangan duni sekarang adalah masa yang berbeda. Dunia sudah memasuki abad 21,
bukan lagi abad 20, sayangnya kita masih seringkali berpikir dalam perspektif
abad 20. Tema sentral abad 20 adalah modernisasi dan industrialisasi. Abad 21
temanya sudah bergeser pada teknologi informasi. Jika rekonstruksi pemikiran Pendidikan, termasuk termasuk farina Pendidikan Islam yang ada di
dalamnya, pada abad 20 terfokus pada bagaimana pendidikan Islam mampu menyediakan dasar-dasar hubungan yang progresif
antara agama dan modernitas, maka di abad 21, temanya harus bergeser pada
bagaimana Pendidikan Islam memposisikan diri di era informasi
Menarik membaca pandangan Slouka tentang bagaimana dunia cyber yang
mengklaim bahwa hibriditas duna net merupakan rimba raya yang menyesatkan. Ia
mengaburkan realitas sesungguhnya dengan paradok metaforis, pertukaran makna
dan permainan bahasa yang begitu plural.
Dengan melihat pandangan Slouka yang begitu menonjol dalam persoalan
bahasa, dan perhatian utamanya terhadap metafora tidak sekedar mengambalikan
makna-makna yang sudah tertanam dalam kehidupan nyata, dan akses-akses bentukan
budaya masyarakat dalam pandangan komunal menjadi tereduksi dalam kesefahaman
global. Ini adalah nilai negative yang tidak dapat dilakukan tindakan preventif
dalam dunia cyber, hingga unsure-unsur pendidikan pun sulit untuk membendung
dilemma bahasa yang sudah berkembang menjadi bahan adopsi menjadi sebuah
kesadaran real.
Dimana letak
hermenutika adalah mendefinisikan ulang makna pendidikan dalam konteks yang
berbeda, tidak sama sekali menghilangkan tujuan dan semangat dari pendidikan.
Saat ini pendidikan sendiri mengalami banyak dilematis dan kebuntuan jalan.
Pada konsep pokok dasar pendidkan adalah memanusiakan manusia maka konsep
perkembangan dunia cyber yang menggila dan menggurita mampu menenggelamkan
semangat membangun peradaban. Peembangunan industri ydan teknologi yang terus
berrevolusi justru menjadi ancaman dunia intelektual bahkan pendidikan juga
menjadi satu bentuk criminal baru dalam kehidupan. Kalau dunia maya mampu
memberi peran dan warna dikehidupan masyarakat mengapa pendidikan yang bisa
menjadi bagian integral dunia tidak dapa tmenyatu dengan dunia maya.
Hermenetuika sebagai bagian dari filsafat epistemology mencoba mencari jawaban
dari setiap persoalah yang melikupi pola laku manusia termasuk dengan
berkembangnya dunia maya Para
ilmuan dalam mendefinisikan hermeneutik, mempunyai definisi yang berbeda-beda.
Dan kita tidak dapat menemukan satu definisi yang menyeluruh yang mewakili
definisi-defini mereka serta bersifat meliputi.
Namun kita dapat mengambil suatu
definisi yang memiliki kedekatan dan kesamaan di antara definisi-definisi yang
ada: Hermeneutik adalah ilmu yang berhubungan dengan penjelasan kebagaimanaan
dan keharmonian pamahaman manusia, apakah itu berhubungan dengan batas
pemahaman terhadap teks tertulis, ataukah secara mutlak aktivitas-aktivitas
kehendak dan pilihan manusia atau mutlak realitas-realitas eksistensi.
Hermenetuika pendidikan dan Perkembagan cyber space
Pendidikan
adalah salah satu cara melakukan perbaikan untuk menjadi manusia Freire
mendefinisikan pendidikan sebagai rangkaian pembaruan (Siti Murtiningsih). Karena itu produk-produk pendidikan akan sangat ditentukan oleh bagaimana pemaknaannya
terhadap realitas. Di sinilah muncul persoalan, model realitas pada era
modernisasi dan industrialisasi berbeda dengan model realitas pada era
informasi. Pada era modernisasi, yang kita sebut realitas tidak jauh-jauh dari bagaimana
produk-produk modern (nilai, ideologi, ilmu pengetahuan, teknologi) menjadi
bagian dari hidup kita sehari-hari di dunia nyata. Sementara era
informasi mendefinisikan realitas secara berbeda. Realitas dalam era informasi
tidak lebih berupa dunia citra yang diproduksi oleh media-media informasi.
Dunia ini dirasakan sebagai pengalaman yang tak kalah riil dari realitas yang
ada di dunia nyata. Hanya saja jika realitas di dunia nyata terdiri dari tanah,
udara, air, dan seluruh makhluk hidup dengan segenap unsur biologisnya, maka
realitas yang diproduksi oleh media informasi tak lebih dari pancaran dari
dunia nyata atau simulasi dari tanah, air, udara dan segenap makhluk hidup yang
ada di dunia nyata. Itu sebabnya kita menyebutnya dengan realitas virtual, virtual
reality.
Penggambaran paling jelas dari realitas virtual kita
temukan dalam dunia cyber (cyberspace). Cyberspace menawarkan
sebuah dunia alternatif tempat manusia hidup. Dunia ini berupa dunia maya yang
dapat mengambil alih realitas di dunia nyata, yang bagi banyak orang bahkan
terasa lebih nyata dari kenyataan di dunia nyata, lebih menyenangkan dari
kesenangan di dunia nyata, lebih fantastis dari semua fantasi yang pernah
dirasakan manusia di dunia nyata, lebih menggairahkan dari semua kegairahan yang
pernah ada.
Pendidikan Islam dan latar histories, pendidikan Islam dan dunia cyber
sebenarnya sangat bisa berdampingan jika di desain dengan konsep yang benar.
Meskipun dunia cyber dikatakan dunia semu, sedangkan Pendidikan Islam adalah
dunia empiric memformat konsep pendidkan dalam dunia cyber space bukan berarti
menjadikan pendidikan sebagai hayalan dan konsep semu yang pengamalannya tidak
dapat dipertanggung jawabkan. Dengan melihat fakta perkembangan teknologi yang
mampu menghipnosis Pendidikan juga sebenarnya adalah konsep penanaman pemahaman
dengan memasukkan dunia cyber menjadi slaah satu alternative memasukkan nilai
pendidkan itu cara penerimaan menjadi lebih mudah, masyarakat yang sudah
menggila dengan dunia cyber pun akan terbiasa dengan penerimaan nilai yang juga
dengan konsep cyber. Hal ini bisa di lihat dari pola laku masyarakat konsumtif,
kebiasaan ini dapat diminimalisir dengan memerbikan kontra informative pula.
Mengapa cyber mampu melakukan hypnosis terhadap pola laku manusia,
gambaranya sebagai berikut: hypnosis dalam aktivitas keseharian, sebetulanya
sangat kerap kita alami. Namun, sering kali kita tak sadar, bahwa apa yang
sudah kita alami adalah serangkaian kegiatan hypnosis dalam keadaan sadar.
Peristiwa sederhana berikut sejatinya adalah hypnosis. Ketika kita
menyaksikan sebuah tayangan film atau sinetron di televise, emosi kita pun
terbawa, menangis atau bahkan marah terhatap tokoh tertentu. Hal ini pula yang
sering terjadi bagi sebagain orang yang sering
masuk ke dunia cyber, proses hypnosis ini tidak akan terasa membawa satu
bentukan dalam pola prilakunya dalam bersikap, berfikir dan bertingkah laku.
Bagaimana bisa poses demikian bisa terjadi, pada dasarnya manusia
senantiasa menggunakan 2 pikiran dalam melakukan aktivitasnya yaitu Pikiran
Sadar (Conscious Mind) dan Pikiran Bawah Sadar (Sub Conscious Mind). Pikiran
sadar berfungsi sebagai bagian pikiran analitis, rasional, kekuatan, kehendak,
factor kritis dan memori jangka pendek, sering kali disetarakan dengan otak
kiri (left brain). Sedangkan Pikiran Bawah Sadar (Sub Conscious Mind) berfungsi dalam menyimpan memori jangka
panjang, emosi, kebiasaan dan intuisi sering kali disetarakan dengan otak kanan
(right brain).
Kedua bagian pikiran ini berisi program-program yang berdampak kepada
tindakan dan perilaku. Semua program ini begitu dinamis dan senantiasa berubah
seiring dengan tindakan dan perilaku yang terjadi. Dinamika ini sesuai dengan
input dan sugesti yang masuk baik secara langsung maupun tidak langsung, baik
berupa verbal maupun non verbal.
Seperti halanya Pendidikan Islam yang dijadikan trend didalam
perkembangan duni Cyber merupakan sebuah tindakan dan perilaku, maka pelu mendapat
input/sugesti yang baru untuk mengubah makna pendidikan dan pengajaran di dalam
otak setiap pengguna dunia maya. Sehingga pendidikan menjadi sesuatu yang
menyenangkan, mengasyikkan dan menjadi proses berkesinambungan dan dibutuhkan.
Mengapa ini harus dilakukan? Ini adalah pertanyaan dasar dalam
pengembangan pendidikan yang mau tidak mau harus dilakukan pula ke dunia maya
(cyber space). Menurut fitrahnya setiap manusia memiliki kecenderungan yang
kuat untuk selalu ingin mengetahui Sesutu. Hasil kerja dan pengetahuan yang
didapat manusia bisa saja benar dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain,
atau bisa juga sebaliknya salah dan membuat kesengsaraan. Andi Hakim Nasution,
mengatakan; “Bila manusia ingin menjadi pengelola bumi yang baik, ia harus tak henti-hentinya
belajar karena ilmu pengetahuan itu berobah. Ada yang ternyata salah harus
dibuang ada pula yang benar harus ditambahkan”.
Sesuai kecenderungan tersebut, pada akhirnya manusia harus melakukan apa
yang menjadi tuntutan dalam pengembangan pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. Semua
dilakukan dalam rangka pengabdian pada keberlangsungan manusia inilah point
yang dalam penjelasan ontology pendidikan sudah disinggung. Semangat untuk
Kepentingan manusialah yang sebenenarnya tujuan dari Pendidikan, Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi baik ditafsirkan secara filsafati atau dengan metode pemikiran
hermeneutis.
Dasar-dasar inilah yang coba digali kembali dalam menafsirkan dan
mendifinisikan pendidikan untuk ikut sertanya dalam dunia baru berupa cyber
space yaitu dunia maya yang tak tersentuh secara fisik namun nyata adanya dan
bersar pengaruh terhadap hermenutika pendidikan yang hakiki. Prof. Dr. Koento
Wibisono mengatakan: “Implikasi yang kini kita rasakan ialah; Pertama ilmu yang
satu sangat berkaitan dengan yang lain sehingga sulit ditarik batas antara ilmu
dsar dan ilmu terapan, antara teori dan praktis; Kedua, dengan semakin kaburnya
garis batas tadi, timbul permasalahan, sejauhmana sang ilmuan terliat dengan
etik dan moral; Ketiga, dengan adanya implikasi yang begitu luas dan dalam
terhadap kehidupan umat manusia, timbul pula permasalahan akan makna ilmu itu
sendiri sebagai suatu yang membawa kemajuan atau masalah sebaliknya”.
Dari pendapat ini dapat diketahui bahwa berkembangnya duni Ilmu
pengetahuan, teknologi dan informasi yang mengglobal timbul pula permasalahn
tanggung jawab moral yaitu masa depan manusia, artinya dimana lagi kita akan
menyisipkan prinsip dan nilai pendidikan kalalu secacar hermenutis pendidikan
tidak ikut serta dalam mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahaun dan teknologi
yang maju pesat dewasa ini.
Dalam kaitannya dengan pola pendidikan dalam bingkai hermeneutis di
atas, bahwa yang paling penting dan diperlukan daam penerapan kemajuan dunia
cyber sebagai reaksi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
sikap etis. Dengan demikian dalam menterjemahkan pendidikan untuk memanusiakan
manusia di dunia maya (cyber space) manusia sendiri tidak kehilangan identitas
kemanusiaannya sebagaiman saat ini terjadi, dan tidak ada keuntungan dan
kepentingan yang didapatkan oleh individu dan kelompok manusia.
Cyber space dan
agama
Secara khusus dunia maya pun dilirik oleh kaum agamawan. Teknologi ini
mendapatkan perhatian yang cukup proporsional dari komunitas-komunitas religius
di penjuru dunia seperti para juru da’wah, para guru dan pendidik dan agamawan. Komunitas penganut agama-agama besar seperti kaum
Yahudi, Muslim, Kristen, Hindu dan Buddha telah membangun markas-markas di
Internet yang menjadi bagian dari basic dunia cyber.
Komunitas religius mulai menyadari arti-penting dunia Internet. Hal ini diikuti dengan adanya
tindakan-tindakan untuk mengaktualisasikan identitas agama mereka masing-masing
sebagai perwujudan kesadaran spiritual mereka. Sehingga, pada saat ini,
ratusan—bahkan ribuan—situs-situs web (world wide web) religius,
membanjiri ruang maya dan merupakan situs web yang cukup diperhitungkan dan
diminati keberadaannya. Ada beberapa hal yang mendasari komunitas religius untuk melibatkan diri dan
organisasi mereka ke dalam dunia Maya:
Pertama, komunitas religius ‘melihat’ cyberspace merupakan sebuah realitas baru yang cukup prospektif,
proporsional dan menjanjikan, di mana jika ia dimanfaatkan secara intensif,
bisa menjadi sebuah media dan sarana penyeru dakwah yang efektif dalam rangka
menyampaikan misi-misi suci keagamaan kepada masyarakat luas.
Kedua, adanya anggapan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
akan membawa pengaruh yang luar biasa luas dalam setiap aspek kehidupan
manusia, termasuk aspek agama dan pendidikan, sehingga keterlibatan agama dalam teknologi ruang maya dianggap perlu
sebagai sebuah bentuk adaptasi yang sekaligus memberikan image pada para
penganut suatu agama bahwa agama yang dianut tersebut bukanlah agama
konservatif dan tidak peka dengan kemajuan zaman.
Ketiga, sebagian komunitas religius memandang duni cyber sebagai
metafora Tuhan, karena dalam lingkup peran “ketuhanan”, dunia maya mampu memberi berbagai pelayanan yang berkaitan
dengan hajat rohani atau bathin manusia.
Jeff Zaleski dalam bukunya Spiritualitas
Cyberspace: Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Kehidupan Keberagamaan
Kita (1997) [terj.], menyajikan gagasaan yang cukup menarik. Ia membuka
wacana perpaduan agama dan teknologi dunia maya sebagai suatu pasangan yang
serasi. Bagi Zaleski, tidak ada alasan untuk tidak melihat sisi positif dari
keterpaduan itu. Sebab, teknologi internet di era global ini justru semakin
terpakai dan berdaya-guna dalam rangka eksistensi agama-agama manusia.
Betapapun kemajuan teknologi membentuk sistem sekuler dan berusaha
menyingkirkan nilai-nilai agama namun pada hakekatnya, manusia dengan fitrahnya
selalu memiliki kecenderungan untuk mewarnai setiap lini kehidupan mereka
dengan nilai-nilai agama.
Dari
penjelasan di atas layaknya ada satu kekhawatiran benturan dan pertikaian
realitas kehidupan beragama. Maka menyandingkan nilai dan pendidikan agama
dalam perkembangan dunia maya (cyberspace) menjadi suatu keharusan. Hal ini
sudah tampak bagaimana tercerabutnya praktik kehidupan keberagamaan di
masyarakat yang hilang arah berpaling kepada kemeriahan dunia cyber yang lebih
menyenangkan dan dianggap tempat yang tepat untuk mengaktulisasikan
kehidupannya.
Internet secara tidak langsung menjadi refleksi efektivitas kegiatan
agama-agama besar dunia. Ketika—meminjam istilah Jeff Zaleski—perang salib
digital berlangsung sengit, di mana ratusan ideologi sekuler bersarang di dunia
maya ini, agama muncul untuk memukul mundur efek buruk dari ribuan jenis situs
yang ada. Sebut saja seperti www.eramuslim.com, www.christianweb.com, www.shamash.com, dan banyak lagi situs-situs lainnya yang mengusung
ideologi religius yang mewakili agama-agama di dunia. Ini sebuah realitas yang
berbicara di mana Internet menjadi sebuah wadah dan media yang tidak bisa
diabaikan oleh kaum agamawan—mengingat begitu agresifnya ratusan ideologi
sekuler di Internet di mana nilai-nilai agama turut ‘berenang’ bersamanya.
Sebagai contoh, coba saja ketik kata “Islam” pada mesin cari (search engine)
di situs Yahoo! (www.yahoo.com), maka di situ kita akan merasa takjub, karena ada 1.082 situs dan topik
berkaitan dengan Islam dalam berbagai isi-visi dan bahasa. Akan lebih takjub
lagi bila kita mengetikkan kata “Islam” di Altavista (www.altavista.com), di situ kita
akan melihat 872.577 situs Islam. Terjadi peningkatan luar biasa atas
keberadaan situs religius.
Kecenderungan di atas membuktikan, bahwa Internet semakin dipercaya sebagai
sarana bagi pengembangan agama. Baik agama yang bertujuan politis, menyebarkan
ide tentang negara agama, nilai spritualitas, memajukan nilai keilmuan atau
intelektualitas. Wacananya sangat beragam. Komarudin Hidayat, ketua Yayasan
Wakaf Paramadina, mengomentari bahwa pada dasarnya, agama-agama di dunia tidak
terlalu aneh dengan fenomena cyberspace atau dunia maya. Agama langit.
misalnya Islam, pada awalnya dalam mengkomunikasikan kata-kata, tak ubahnya
seperti yang ada di Internet saat ini. Firman atau ajaran Allah yang diterima
Nabi Muhammad datang dari sesuatu yang maya yakni malaikat Jibril. Jadi, Jibril
tidak ubahnya seperti Internet, kata-katanya didengar dan dipahami dari sesuatu
yang tak berwujud. Fenomena itu dikenal sebagai wahyu. Kekuatan dunia maya itu
sangat luar biasa. Siapa dapat menyaingi cyberspace yang diterima
Muhammad dari Jibril? Diakses sekian ratus juta manusia dari zaman ke zaman
selama 14 abad lebih. Itupun hanya mengandalkan kekuatan kata-kata dan gagasan.
Orang bebas untuk menerima atau menolaknya. Persis seperti Internet.
Terlepas
dari benar-tidaknya logika yang dikembangkan oleh Komarudin, hal tersebut
merupakan sesuatu yang layak kita pertimbangkan di tengah maraknya wacana
tentang agama-agama cyberspace.
Sebuah
Simpulan
Sesungguhnya
informasi adalah terus menerus mengalir, bagaikan air sungai yang selalu
menyusuri lembah menuju anak sungai. Begitulah realitas informasi sebagai
kebutuhan umat manusia saat ini. Ia akan terus menghantam segala “penghalang”
yang ada di depan. Tidak bisa dihalangi oleh batu sebesar apa pun. Informasi
–baik yang positif maupun yang negatif- kita konsumsi setiap saat. Keimanan
kitalah yang selanjutnya berfungsi sebagai filter, memfilter informasi apa saja
yang semestinya kita konsumsi. Maka untuk memfilter itu semua butuh asupan dalam
mendifinisikan pendidikan, agar dunia maya benar-benar tidak hilang makna.
Mengisinya dengan agama, merubah nilai dan prangsangka menjadi tantangann untuk
yang bergelut di dalam pendidikan.
Bijaksanalah menyikapi
zaman virtual. Karena tidak ada pihak yang bisa mencegah kita melakukan
penyimpangan-penyimpangan menggunakan media internet selain diri kita sendiri
yang kita bentengi dengan sikap takut kepada Allah SWT. Akhirnya, kesadaran
(baca: iman) menjadi hal yang urgent dalam memetakan kita bersikap secara
proporsional mendayagunakan internet sebagai media virtualisasi Pendidikan Agama.
0 komentar:
Posting Komentar