Rabu, 05 Oktober 2011

Tugas Mata Kuliah Fiqih Istihadhah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Masalah yang sering muncul dalam masyarakat banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui tentang apakah darah istihadhah apa darah haid,  dan hal-hal apakah yang harus dilakukan dan terlarang oleh wanita yang nifas, masyarakat awam banyak yang tidak mengetahui hal itu.
Oleh karena itu kami menycoba untuk memaparkan apa sebenarnya darah istihadhah itu yang ada pada wanita yang mengalaminya, dan juga tentang nifas.
B.     Rumusan Masalah
  1. Apakah pengertian istihadhah itu?
  2. Apakah nifas itu dan hal apa saja yang terlarang baginya?









BAB II
PEMBAHASAN

1.      ISTIHADHAH
A.    Definisi Istihadhah
Istihadhah adalah darah yang keluar dari rahim perempuan karena penyakit, bukan diwaktu haid dan nifas. Perempuan yang sedang berdarah penyakit itu wajib mengerjakan sembahyang dan ibadah yang lain tetap atasnya, sebagaiman tetap hukum wajib atas orang berpenyakit yang lain. Dari itu hendaklah ia membedakan darah haid dengan darah penyakit, karena kalau darah itu darah haid ia tidak boleh sembahyang atau berpuasa, serta mengerjakan ibadah-ibadah yang lain, tetapi kalau ia mendapat darah penyakit wajiblah ia sembahyang dan mengerjakan ibadah lain-lain.[1]
Setiap keluarnya darah yang melebihi masa haid atau nifas atau kurang dari batas minimalnya atau mengalir sebelum mencapai usia haid (yaitu 9 tahun) maka darah tersebut adalah istihadhah.
Wanita yang mengalami istihadhah termasuk orang-orang yang mempunyai uzur sebagaimana orang yang menderita mimisan, sering kencing (beser) dan lain sebagainya.
B.     Macam-Macam Darah Istihadhah
  1. Kurang dari batas minimum masa haid, ada yang melebihi batas maksimum.
  2. Ada yang melebihi masa maksimal masa nifas.
  3. Ada yang melebihi kebiasaan di waktu haid dan nifas dan melampaui batas maksimalnya.
  4. Darah yang terlihat pada wanita hamil, menurut Hanafiah dan Ahmad karena tertutupnya mulut rahim.
C.     Hukum  Istihadhah
Dalil yang menunjukkan hukum istihadhah ialah hadis Nabi Saw.
                Aisyah berkata, “Fatimah Binti Hubaisy datang kepada Nabi Saw, lalu berkata, Aku seorang wanita yang istihadhah, sehinga aku tidak suci. Apakah aku harus meninggalkan ahalat? Maka Nabi Saw. menjawab, Tidak. Jauhilah shalat dimasa haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap shalat. Kemudian shalatlah, meskipun darah menetes di atas tikar.”
(H.R. Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hibban)
D. Bersetubuh dengan  Wanita Istihadhah
                  Irimah berkata, “Ummu Habibah istihadah dan suaminya
menggaulinya.” (H.R. Abu Dawud)
      Hadis di atas menunjukkan diperbolehkan bersetubuh dengan istri yang sedang istihadhah, walaupun dalam keadaan keluar darah. Statemen di atas merupakan pendapat jamhur (mayoritas) ulama, sebagaiman dinyatakan oleh Ibnul Mundzir yang menceritakanya dari Ibnu Abbas dan Ibnu Musayyab, Hasan Al-Bashri, Atha’, Said bin Jubair dan lain-lain.
            Sebagian ulama mengatakan tidak boleh. Mereka berdalil pada hadis yang diriwayatkan oleh Al-Khallal dengan sanad Aisyah, ia berkata, “Wanita yang istihadhah tidak boleh digauli oleh suaminya.”
            Para ulama berkata, Wanita istihadhah mengalami gangguan, sehingga haram digauli sebagaimana wanita haid. Allah melarang menggauli istri yang haid dengan alasan adanya gangguan, sedangkan gangguan juga menimpa pada wanita yang mengalami istihadhah, oleh karena itu haram hukumnya bagai dirinya.
            Jelaslah di sini bahwa menggauli istri yang sedang istihadhah tidak menjadi soal berdasarkan hadis yang telah kami kemukakan. Akan tetapi menjaga diri lebih utama, karena gangguan haid menimpa pada wanita yang mengalami istihadhah, hanya saja gangguanya hanya sebentar. Maka yang lebih utama adalah tetap menahan diri selama masa ada gangguan dan menggauli kembali setelah habis batas maksimal.
E.     Keadaan Wanita yang sedang Istihadhah
  1. Keluarnya dapat dibedakan
Yaitu istihadhah yang dimulai dengan keluarnya darah, dalam hari tertentu terlihat darah kuat dan pada hari lain darah lemah. Darah yang kuat tidak kuat dari masa minimum haid dan tidak melebihi  batas maksimal.
  1. Darahnya tidak dapat dibedakan karena terlihat dalam satu sifat. Maka  haidnya sehari semalam dan masa sucinya 29 hari.
  2. Dapat dibedakan dengan didahului oleh masa haid dan masa suci.
  3. Tidak dapat dibedakan dengan melihat sifat, sedangkan wanita itu tidak dapat membedakan antara darah haid dengan darah istihadhah dan ini kembli kepada kebiasaanya sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ummi Salamah, bahwa seorang wanita mengeluarkan darah di zaman Rasulullah Saw. kemudian ia menanyakan hal itu kepada beliau. Dan Nabi menjawab, suruhlah ia menghitung jumlah malam dan jumlah siang selama ia haid dalam setiap bulan sebelum ia mengalami hal itu, lalu suruhlah ia meninggalkan shalat selama waktu itu dari setiap bulan”.
(H.R. Malik, Nasa’I, Abu Dawud dan Baihaqi).[2]           

2.      NIFAS
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena  melahirkan dan setelah melahirkan. Ia adalah sisa darah yang tersimpan pada masa hamil. Dan, masa paling lama menurut jamhur ulama adalah empat puluh hari.
Tarmidzi berkata, “Para ulama dari kalangan sahabat dan setelah mereka bersepakat bahwa wanita yang sedang nifas dapat meninggalkan shalat selama empat puluh hari.[3]
A.    Hal-Hal Terlarang Bagi Wanita Nifas
  1. Puasa
  2. Bersanggama.[4]

 
BAB III
KESIMPULAN

Dari Pernyataan di atas kami dapat menyimpulkan bahwa:
Istihadhah adalah darah yang keluar dari rahim perempuan karena penyakit, bukan diwaktu haid dan nifas. Perempuan yang sedang berdarah

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena  melahirkan dan setelah melahirkan. Ia adalah sisa darah yang tersimpan pada masa hamil. Dan, masa paling lama menurut jamhur ulama adalah empat puluh hari.

 
DAFTAR PUSTAKA


1.      Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Jakarta. Attahiriyah:1981
2.       Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah. Al-Jamal. Jakarta: Pustaka Amani.1995
3.      Saleh Al-Fauzi. Fiqih Sehari-Hari. Jakarta: Gema Insani. 2005
Sayyid Sabiq. Fiqih Sunah. Bandung: PT. Ma’arif. 1988


[1]  Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Jakarta. Attahiriyah:1981
[2] Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah. Al-Jamal. Jakarta: Pustaka Amani.1995
[3] Saleh Al-Fauzi. Fiqih Sehari-Hari. Jakarta: Gema Insani. 2005
[4] Sayyid Sabiq. Fiqih Sunah. Bandung: PT. Ma’arif. 1988

0 komentar:

Posting Komentar