Rabu, 20 Mei 2015

DAMPAK UN PADA KUALITAS PENDIDIKAN AGAMA

MAKALAH DAMPAK UN PADA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
OLEH: SUPENDI

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pembangunan pondasi pendidikan yang dimaksudkan adalah dalam rangka mencapai amanat UUD 1945 yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini bahwa salah satu tujuan bangsa kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kecerdasan yang dimaksudkan tentu bukan hanya kecerdasan intelektual, tapi juga kecerdasan lain seperti kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual disamping kecerdasan yang lainnya. Disadari oleh kita bahwa untuk
mencapai tujuan tersebut bukanlah hal yang mudah dalam kondisi keterpurukan bangsa kita dewasa ini yang berusaha untuk bangkit kembali. Proses kebangkitan bangsa harus selalu menjadi semangat yang selalu terpatri dalam sanubari setiap anak negeri ini. Karena dengan semangat itu yang dipadu dengan persatuan dan kerjasama sebagaimana yang juga telah dicontohkan oleh pejuang bangsa dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, maka cita-cita bangsa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bukan merupakan hal yang mustahil untuk diraih.
Sebuah tragedi kembali dipertotonkan dalam menandai peringatan kebangkitan nasional kita di tahun ini dengan munculnya kasus korupsi dan penyuapan dan juga kisruh yang terjadi dalam lembaga olah raga yang menunjukkan jauhnya panggang dari api, atau dengan kata lain tema yang diusung seperti tergantung diatas langit yang tak mungkin untuk kita capai hanya dapat kita lihat tanpa bisa diraih. Sebuah ironi yang miris ditengah upaya dan semangat untuk mensejahterakan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sehingga tidaklah mengherankan bila bangsa ini selalu berada dalam tirani kemiskinan yang tak berujung. Bagaimana mungkin kita dapat mewujudkan harapan dan cita-cita pendiri bangsa ini jika kita tidak dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat? Seorang pakar ekonomi yang juga seorang guru besar di Harvard University peraih nobel yaitu Amartya Kumar Sen dalam bukunya yang berjudul Development as Freedom menyatakan bahwa antara pendidikan dan kemiskinan memiliki keterkaitan.[1] Pernyataan ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan di India yang menunjukkan betapa tingkat pendidikan bertalian erat dengan pengentasan kemiskinan. Dengan pendidikan maka akan meningkatkan self awareness dari masyarakat agar dapat menyadari akan potensi yang dimilikinya dalam upaya menuju kemandirian baik mandiri sebagai individu maupun sebagai komunitas atau masyarakat.
Pentingnya pendidikan telah menjadi gerakan yang digalakkan oleh pemerintah saat ini dengan dikeluarkannya kebijakan pengganggaran pendidikan sebesar 20% baik dari APBN maupun dari APBD sebagaimana yang dituangkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Kemudian hal ini diperkuat dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 ayat 1 bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sector pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Disadari saat ini kualitas pendidikan kita masih jauh berada di bawah Negara-negara asean dan dunia, walaupun secara peringkat kita mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan dari Laporan The Global Competitiveness Report 2010-2011 yang diluncurkan Forum Ekonomi Dunia. Disebutkan, indeks daya saing global atauGlobal Competitiveness Index (GCI) Indonesia meningkat. Untuk tahun 2010, GCI Indonesia berada di posisi ke-44 dari 139 negara, sedangkan tahun lalu di peringkat ke-54 dari 133 negara.
Adapun sejumlah negara tetangga berada pada peringkat yang lebih baik adalah Singapura di posisi ke-3, Malaysia di posisi ke-26, Brunei Darussalam di peringkat ke-28, dan Thailand di posisi ke-38.[2] 
Hal tersebut merupakan sebuah indicator bahwa kita masih harus bekerja lebih keras untuk meningkatkan pendidikan. Upaya ini merupakan upaya yang harus dilakukan secara integral, komprehensif dan akomodatif dengan memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki. Kita sama mahfum bahwa Negara kita merupakan jamrud katulistiwa yang memiliki tanah yang subur dan kandungan kekayaan yang tak ternilai. Tapi apalah arti semua itu jika kita tidak memiliki sumber daya manusia yang handal untuk mengelola semua kekayaan bangsa tersebut.
Malaysia dan Singapura adalah tetangga kita yang bila dilihat hanyalah sebuah titik dari luasnya wilayah kita, tapi apa yang terjadi saat ini? Jika 20 tahun yang lalu kedua Negara tersebut menjadikan Indonesia sebagai mentor tapi saat ini telah tumbuh menjadi Negara yang kaya. Malaysia dan Singapura telah tumbuh menjadi Negara miskin yang kaya “the poor rich country” artinya mereka miskin secara sumber daya alam tapi mereka kaya akan gagasan dan inovasi sementara Indonesia menjadi Negara kaya yang miskin “the rich poor country” artinya kita memiliki sumber daya alam yang kaya, namun karena kita miskin akan kualitas sumber daya manusia maka kita tidak dapat mengelola secara mandiri kekayaan kita sehingga mengakibatkan kita menjadi miskin.[3]
Berbicara mengenai tanggungjawab Negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, maka peran pendidikan formal di sekolah-sekolah harus menjadi prioritas. Untuk menjaga agar upaya peningkatan mutu pendidikan secara terencana, terarah dan berkelanjutan, maka pemerintah melakukan evaluasi terhadap pencapaian yang dilakukan secara nasional yang kita kenal saat ini dengan Ujian Nasional.
Pada medio 2008 sampai dengan saat ini, pelaksanaan Ujian Nasional (UN) telah menjadi pembicaraan hangat di kalangan praktisi pendidikkan tentang kaitan UN terhadap kualitas pembelajaran. Hal tersebut didasarkan pada fakta lapangan tentang berbagai peristiwa yang terkadang irasional yang disebabkan oleh kekhawatiran yang berlebihan akan UN yang akan dijalani. Seakan-akan UN merupakan penentu “hidup dan matinya” siswa, dalam arti siswa tidak akan bisa menjalani hidupnya bila tidak lulus dalam UN. Hal ini merupakan bahan evaluasi untuk kita semua karena pendidikan bukanlah tanggung jawab pemerintah semata tapi merupakan tanggung jawab semua elemen bangsa.
Selain fenomena yang terjadi pada siswa juga stigma yang berkembang di kalangan pemerintah yang terkesan bahwa keberhasilan UN merupakan sebuah kebanggaan, namun jika gagal terkesan menjadi sebuah tamparan yang memalukan apalagi pada daerah-daerah yang terkenal sebagai daerah yang menjadi contoh dalam kegiatan pembangunan. Seperti yang terjadi pada daerah Jakarta dan Yogyakarta.
Sehingga dapat dikatakan bahwa UN merupakan ajang prestise bagi daerah dan sekolah sebagai bentuk akuntabilitas terhadap proses pembelajaran yang dilakukan. Apakah ini yang menjadi tujuan UN? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka menjadi hal yang menarik bagi kelompok untuk melihat lebih jauh tentang pelaksanaan UN dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas pendidikan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Pelaksanaan UN
Perjalanan ujian yang bertujuan untuk melihat tingkat penyerapan pembelajaran yang telah diterima oleh siswa sampai dengan munculnya model pelaksanaan Ujian Nasional, ternyata telah mengalami beberapa kali perubahan sejak 1950 sampai dengan saat ini yang kecendrungannya setiap berganti pejabat maka berganti pula pola kebijakan pelaksanaan UN.
Adapun sejarah pelaksanaan UN sebagai berikut:[4]
  Periode 1950-1960-an
Pada periode ini ujian kelulusan disebut dengan ujian penghabisan dan diadakan secara nasional serta soal-soal dibuat oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Soal-soal yang diujikan berbentuk essai dan hasil ujian diperiksa di pusat rayon.

  Periode 1965-1971
Pada periode ini semua mata pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Waktu ujian juga ditentukan oleh pemerintah pusat.

  Periode 1972-1979
Pada periode ini pemerintah memberi kebebasan untuk setiap sekolah atau kelompok sekolah menyelenggarakan ujian sendiri. Pembuatan soal dan penilaian dilakukan masing-masing sekolah atau kelompok sekolah. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum.



  Periode 1980-2001
Pada Periode ini mulai diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk yaitu Ebtanas untuk mata pelajaran umum dan Ebta untuk mata pelajaran non-ebtanas. Ebtanas dikoordinasim oleh pemerintah pusat dan Ebta dikoordinasi oleh pemerintah provinsi. Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang tertera di buku rapor. Dalam Ebtanas siswa dinyatakan lulus jika nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang diujikan adalah enam. Meskipun terdapat nilai di bawah tiga.

  Periode 2002-2004
Pada periode ini Ebtanas diganti dengan nama Ujian Akhir Nasional (UAN) dan standar kelulusan tiap tahun berbeda-beda. Pada UAN 2002 kelulusan ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual. Pada UAN 2003 standar kelulusan adalah 3.01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-rata minimal 6.00. Soal ujian dibuat oleh Depdiknas dan pihak sekolah tidak dapat mengatrol nilai UAN. Para siswa yang tidak/belum lulus masih diberi kesempatan mengulang selang satu minggu sesudahnya. Pada UAN 2004, kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4.01 dan tidak ada nilai rata-rata minimal. Pada mulanya UAN 2004 ini tidak ada ujian ulang bagi yang tidak/belum lulus. Namun setelah mendapat masukan dari berbagai lapisan masayarakat, akhirnya diadakan ujian ulang.

  Periode 2005-sekarang (2010)
Pada periode ini UAN diganti namanya menjadi Ujian Nasional (UN) dan standar kelulusan setiap tahun pun juga berbeda-beda. Pada UN 2005 minimal nilai untuk setiap mata pelajaran adalah 4.25. Pada UN 2005 ini para siswa yang belum lulus pada tahap I boleh mengikuti UN tahap II hanya untuk mata pelajaran yang belum lulus. Pada UN 2006standar kelulusan minimal adalah 4.25 untuk tiap mata pelajaran yang diujikan dan rata-rata nilai harus lebih dari 4.50 dan tidak ada ujian ulang. Pada UN 2007 terdapat dua kriteria kelulusan yaitu;
a)  Nilai rata-rata minimal 5.00 untuk seluruh mata pelajaran dengan tidak ada nilai di bawah 4.25.
b)  Jika nilai minimal 4.00 pada salah satu mata pelajaran yang diujikan maka nilai pada dua mata pelajaran linnya adalah 6.00.
Pada UN 2007 ini tidak ada ujian ulang. Dan bagi yang tidak lulus disarankan untuk mengambil paket c untuk meneruskan pendidikan atau mengulang UN tahun depan. Pada UN 2008 mata pelajaran yang diujikan lebih banyak dari yang semula tiga, pada tahun ini menjadi enam. Standar kelulusan pada tahun ini terdapat dua kriteria yang hampir sama dengan tahun 2007 hanya saja terdapat penambahan nilai rata-rata minimal menjadi 5.25. Penambahan mata pelajaran pada UN 2008 ini karena BSNP mendapat masukan, bahwa ada ketidakseimbangan tingkat keseriusan antara mata pelajaran yang di-UN-kan dan yang tidak. Pada UN 2009 standar untuk mencapai kelulusan, nilai rata-rata minimal 5.50 untuk seluruh mata pelajaran yang di-UN-kan, dengan nilai minimal 4.00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4.25 untuk mata pelajaran lainnya. PadaUN 2010 tahun ini, standar kelulusannya adalah;
a)   Memiliki nilai rata-rata minimal 5.50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4.0 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4.25 untuk mata pelajaran lainnya.
b)  Khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran praktek kejuruan minimal 7.00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN.

2.      Polemik Pelaksanaan UN
UN adalah merupakan momok yang menakutkan baik bagi siswa maupun bagi sekolah dan pemerintah khususnya pemerintah daerah sebagai ajang prestise terhadap kualitas pendidikan yang ada di daerahnya. Disadari atau tidak UN telah menjadi komoditas politik yang selalu menjadi isu hangat yang di bawa oleh para politikus untuk mempengaruhi pilihan masyarakat dalam memperoleh kedudukan dalam lingkar kekuasaan.
Mengapa UN dikatakan sebagai momok yang menakutkan? Dalam berita yang kita baca dan lihat serta dengarkan baik di media cetak maupun elektronik, sebelum pelaksanaan UN telah memunculkan sikap atau perilaku yang kurang rasional seperti melakukan ziarah ke makam-makam yang dianggap “keramat” bahkan ada yang datang ke pesantren untuk membawa pensil ujian siswa agar di beri “doa-doa” sehingga mereka dapat menjawab soal UN dengan baik. Pada saat pelaksanaan UN siswa mendapat bantuan dari pihak guru yang memberikan bocoran jawaban dengan melakukan kerjasama dengan pengawas. Dan masih banyak lagi fenomena yang tidak mungkin kami angkat satu persatu. Namun satu hal yang pasti dengan pelaksanaan UN telah memunculkan sikap irasional dalam menghadapinya.
Dalam perkembangannya UN juga telah membawa pengaruh terhadap kesadaran masyarakat dan praktisi pendidikan tentang bentuk UN yang ideal untuk mengukur kemampuan atau kompetensi siswa walau hal ini memang sampai dengan saat ini belum ada satu model ideal dalam pelaksanaan UN. Secara positif UN telah membawa pengaruh pada sekolah untuk selalu mancari cara agar siswa yang ada di sekolahnya lulus 100% dalam setiap pelaksanaan UN, baik melalui pengayaan diluar jam belajar maupun bekerja sama dengan bimbingan belajar untuk mengasah kemampuan siswanya dalam ranah kognitif agar mampu menjawab soal-soal dalam UN.
Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya ujian nasional, sekolah dan guru akan dipacu untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya.Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa tidak setuju karena menganggap bahwa Ujian Nasional sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif.
Pendapat yang berkembang dalam masyarakat kita menurut Agus Suwignyo dapat dipetakan dalam tiga kategori yaitu:[5]
a.  UN dianggap mengabaikan prinsip keadilan. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa kondisi geografis, karakter cultural dan kebutuhan social ekonomi daerah-daerah di Indonesia berbeda-beda sehingga membawa dampak terhadap proses dan hasil pendidikan yang diharapkan pun berbeda-beda. Misalnya menukil pendapat Begawan pendidikan kita Prof. Winarno Surakhmad dalam suatu wawancara radio menguraikan bahwa kompetensi siswa dalam hal penguasaan bahasa inggris antara wilayah Jakarta dengan Pulau Natuna tentu berbeda yang disebabkan oleh kebutuhan yang berbeda.
b.   UN mengabaikan integralitas bidang-bidang potensi perkembangan murid. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa perkembangan potensi siswa terjadi pada aspek cipta, rasa dan karsa. UN dikhawatirkan mereduksi tujuan pendidikan sejati dari membangun manusia yang utuh dan cerdas menjadi sekedar lulus ujian (Kompas,3/4/2008). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menganggap dengan memberlakukan UN, pemerintah mengekploitasi anak-anak demi gengsi-gengsi politik (Kompas, 27/5/2008)
c.  Persentase komponen-komponen kelulusan murid tidak pernah transparan. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa selama ini pemerintah tidak transparan dalam penentuan kelulusan siswa antara berapa persen nilai rapor, ujian sekolah dan UN memberikan kontribusi dalam penilaian bahwa layak dan tidaknya siswa dikategorikan “lulus” dari jenjang pendidikan tersebut. UN dinilai oleh sejumlah pengamat sebagai “tumpang tindih antara tujuan pemetaan pendidikan dan tujuan ujian” (Kompas, 22/11/2007)

B.     KONSEP MUTU PENDIDIKAN
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali memperbincangkan masalah mutu. Kita tidak menyadari bahwa belum terdapat kesepakatan dikalangan para pakar mengenai mutu. Mutu merupakan suatu konsep yang didasarkan pada ilusi dan bermakna individual. Oleh karena itu, mutu memiliki maknayang sangat beragam dan berlainan bagi setiap orang dan kriterianya pun berubah secara terus menerus tergantung pada konteksnya. Mutu suatu terminologi yang subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara di mana setiap definisi dapat didukung oleh argumentasi yang sama baiknya.
Sebagai langkah awal dalam mengetengahkan tentang rumusan atau konsep mutu pendidikan bahwa konsep mutu pendidikan masih bersifat parsial dan individual. Mutu pendidikan adalah berkembangnya potensi anak didik. Pendidikan dikatakan bermutu apabila anak didik dapat mengembagkan potensi dirinya. Sedangkan menurut Suryadi,  mutu pendidkan adalah kemampuan lembaga-lembaga pendidikan dan satuan pendidikan dalam mengelola dan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan untuk meningkatkan kemampuan belajar. Lembaga-lembaga pendidikan dalam hal ini adalah lembaga formal dan non-formal, lebih lanjut Suryadi[6] mengungkapkan bahwa pendidikan yang bermutu adalah dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dasar untuk belajar sehingga dapat mengikuti bahkan menjadi pelopor dalam pembaruan dan perubahan.
Memperhatikan dua pendapat di atas, nampak yang satu menekankan kepada berkembangnya potensi peserta didik, dan yang satu lainnya lebih menekankan kepada kemampuan lembaga-lembaga pendidikan dan satuan pendidikan, pendapat yang lebih lengkap diungkapan oleh Soedijarto bahwa pendidikan yang bermutu yaitu suatu sistem pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan pada berbagai jenjang dan jenis yang memiliki kemampuan, nilai dan sikap, baik kemampuan intelektual, Profesional dan emosional dan memiliki sikap jujur, berdisiplin, dan beretos kerja yang tinggi, rasional, kreatif, memiliki rasa tanggung jawab kemanusiaan, kemasyarakatn dan kebangsaan serta berakhlak mulia, beriman dan bertaqwa. Namun demikian, menurut Tilaar bahwa pendidikan yang berkualitas bukan hanya pendidikan yang mengembangkan intelegensi akademik, tetapi perlu mengembangkan seluruh spektrum intelegensi manusia meliputi berbagai aspek kebudayaan.[7]     
Kemudian menurut Slamet[8], untuk bis amenghasilkan mutu, terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam lembaga pendidikan, yaitu: (1) menciptakan situasi “menang-menang” (win-win solution) dan bukan situasi “kalah-menang” di antara pihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholder); (2) perlunya ditumbuhkembangkan motivasi intrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu; (3) setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang, sehingga penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan janka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus menerus ; (4) dalam menggerakan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, harus dikembankan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil mutu.     

C.    DAMPAK UN TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS ATAU MUTU PENDIDIKAN
Membicarakan peningkatan mutu sebagaimana yang telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa pendidikan dikatakan bermutu jika terdapat kesesuaian antara hasil yang diperoleh dengan tujuan pendidikan yang secara konseptual digambarkan dalam GBHN menjadi 4 aspek yaitu; 1) aspek agama; 2) aspek intelektual; 3) aspek politik; dan 4) aspek individual.
UN secara yuridis merupakan amanat PP 19 Tahun 2005 tentang system pendidikan nasional. UN sebagai upaya pemerintah untuk melakukan penilaian terhadap kompetensi peserta didik dan sekaligus pemetaan terhadap mutu program/satuan pendidikan yang ada di seluruh wilayah Indonesia.
Pembahasan ini menjadi menarik jika melihat polemik yang berkembang tentang pelaksanaaan UN di Negara ini tapi untuk menjadi pembanding penulis ingin mengutip tulisan yang dimuat di Harian Kaltim Post Edisi Rabu tanggal 21 Nopember 2007 dengan judul Mengakhiri Polemik Ujian Nasional SD.[9]
Meski menuai pro dan kontra kemendiknas tetap melaksanakan ujian nasional yang terintegrasi dengan ujian sekolah (UNTUS) pada Sekolah Dasar (SD) mulai tahun 2008. Menariknya standar kelulusan mata pelajaran yaitu Matematika, IPA dan Bahasa Indonesia tidak dipatok oleh pemerintah pusat, tetapi sepenuhnya diserahkan pada kebijakan masing-masing sekolah. pemerintah pusat hanya membuat soal yang porsinya 40%, sementara sisanya 60% diserahkan pada pemerintah daerah. Criteria kelulusan ditentukan melalui rapat dewan guru dengan mempertimbangkan nilai minimum dan nilai rata-rata dari ketiga mata pelajaran yang diujikan. Selanjutnya peserta akan diberi surat keterangan hasil UNTUS yang diterbitkan oleh sekolah.
Sebagai pembanding diungkapkan bahwa kebijakan UNTUS bukalan hal yang baru, karena di Australia dan Amerika sudah menerapkan model evaluasi tersebut. Secara berkala Negara tersebut melakukan evaluasi kelulusan setiap tiga tahun sekali. Targetnya untuk mengetahui kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Singapura justru lebih konsisten menjaga standar nilai ujian kelulusan mulai tingkat SD sampai SMA. Hasilnya Negara ini terkenal dengan prestasi siswa yang gemilang sebagaimana terekam dalamThe Third International Mathematics and Science Studies (TIMSS).
Memang pada akhirnya setiap sekolah akan berbeda dalam penentuan standar kelulusan, meski demikian justru hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengakomodir perbedaan kinerja setiap sekolah. artinya penetapan standar kelulusan tidak memberatkan sekolah yang unggul mutunya, maupu sekolah yang kebetulan bermutu rendah.
Dengan tidak bermaksud untuk mengesampingkan pendapat tentang keberatan sebagian masyarakat tentang pelaksanaan UN yang beragam baik yang dilihat dari sisi nilai-nilai pedagogis karena hanya menguji kognitif saja, sisi psikologis karena menimbulkan kecemasan pada peserta didik dan orang tua dan adanya “pemaksaan” untuk menghapal pelajaran yang akan di UN kan maupun dari sisi social karena munculnya kecurangan dalam bentuk “mark up” nilai untuk mempertahankan budaya lulus 100% atas nama nama baik sekolah.
Perlu kiranya kita melihat beberapa hal positif dari pelaksanaan UN diantaranya; 1) berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Phelps (2001), Amrein dan Berliner (2003) menunjukkan bahwa keberadaan ujian kelulusan meningkatkan prestasi akademik siswa untuk mata pelajaran yang diujikan; 2) bisa menjadi barometer analisis sejauh mana daya serap siswa terhadap isi kurikulum yang dipelajarinya.
Bila kita melihat dari sisi peningkatan rata-rata nilai UN sebagaimana data yang dimuat dalam renstra kemendiknas 2010-2014 sebagai berikut:
Tabel 1
Capaian Pendidikan Dasar dan Menengah
Program
Indikator Kinerja
2004
2005
2006
2007
2008
SD/MI/SDLB
Paket A
Rerata Nilai UN
-
-
-
-
7,03
SMP/MTs/SMPLB
Paket B
Rerata Nilai UN
5,26
6,28
7,05
7,02
6,87
SMA/SMK/MA/SMALB
Paket C
Rerata Nilai UN
5,31
6,52
7,33
7,14
7,17
                Sumber: Renstra Kemendiknas 2010-2014
Untuk tingkat kelulusan pada sekolah SMP/MTs untuk 2 tahun terakhir yaitu 2009 dan 2010 mengalami penurunan, sementara SMA mengalami peningakatan seperti dirangkum dalam table berikut:[10]
Tabel 2
Rekapitulasi kelulusan SMP dan SMA
Tahun 2009 dan 2010
Program
Indikator Kinerja
2009
2010
Jumlah peserta
% kelulusan
Jumlah peserta
% kelulusan
SMP dan sederajat
Kelulusan
3.437.117
94,82
3.605.163
90,27
SMA dan sederajat
Kelulusan
1.517.013
93.74
1.522.195
99,04
                          Sumber: http://www.depkominfo.go.id
Tahun 2010 masih ada sekolah di tujuh daerah yang ketidaklulusannya 100 %, yakni masing-masing satu sekolah di Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Maluku Utara, kemudian ada dua sekolah di KalimantanTengah dan Sulawesi Tengah. Sementara itu persentase ketidaklulusan tertinggi dalam UN setelah UN ulangan berdasarkan provinsi tahun ajaran 2009/2010 adalah NTT, yaitu sebanyak 2.425 siswa tidak lulus atau 5,55% . Menyusul berikutnya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan1.219 siswa (5,03 %), Kalteng 839 siswa (4,60 %) dan Bangka Belitung 232 siswa (2,74 %). Sedangkan persentase ketidaklulusan terendah dalam UN 2010 setelah UN ulangan adalah Jawa Barat, 17 siswa (0,01 %), Bali,17 siswa (0,02 %), dan Sulut, 10 siswa (0, 03 %).
Sehubungan dengan peran pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 19 Tahun 2005 untuk melakukan pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan wakil mentri pendidikan nasional menyatakan bahwa 25% soal UASBN digunakan sebagai dasar untuk pemetaan pendidikan khususnya di tingkat sekolah dasar. Untuk sekolah yang memiliki standar yang rendah akan dibantu untuk meningkat baik dari peningkatan kompetensi guru atau peningkatan sarana prasarana sekolah.
Gagasan Kihajar Dewantara tentang evaluasi pembelajaran setidaknya memberikan kita pada rambu-rambu pelaksanaan UN yang seharusnya mencakup keseluruhan dari kerangka pendidikan kita. Memaknai UN sebagai “pisau guletin” untuk mengeksekusi kemampuan belajar murid jelaslah bukan keputusan yang tepat. Namun meniadakan evaluasi pembelajaran pada tingkat nasional (semisal UN) juga merupakan tindakan fatalistic dan ekstrem.[11]

Ketika polemik yang berkepanjangan mengenai Ujian Nasional di Indonesia masih berlangsung, pemerintah melalui Kementerian Agama yang konon telah disetujui Kementerian Pendidikan Nasional akan menerapkan kebijakan Ujian Nasional PendidikanAgama.  Pada tahun 2011 ini akan diberlakukan UN Pendidikan Agama Islam (PAI), sedang UN bagi mata pelajaran pendidikan agama  lainnya kemungkinan juga akan diberlakukan pada tahun-tahun berikutnya.
Dilihat sepintas, kebijakan tersebut dianggap sebagai upaya untuk mengangkat ”martabat”  pendidikan agama, agar dengan di UN kan peserta didik lebih bergiat belajar agama sebagaimana mereka bergiat belajar mata pelajarn lain yang selama ini telah di UN kan. Kebijakan ini juga merupakan “proyek” yang dimaksudkan untuk mengetahui  daya serap dan pemerataan pendidikan agama Islam di seluruh wilayah Indonesia. Hal yang lebih penting dan strategis dari UN adalah tindak lanjutnya yaitu untuk peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu, UN dilaksanakan dengan prinsip komprehensif, yaitu  mencerminkan kesatuan proses belajar mengajar yang dialami siswa dan meliputi tiga kompetensi dasar yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Tentu saja kita sebagai penyelenggara pendidikan, khususnya pendidikan swasta, tidak bermaksud a priori terhadap kebijakan UN pendidikan agama. Tetapi, karena kebijakan tersebut berimplikasi luas terhadap pendidikan, khususnya pendidikan agama, maka perlu disikapi dan ditempatkan secara proporsional. Di sisi lain, kita berharap bahwa pemerintah hendaknya tidak semata-mata menggunakan kekuasaannya dalam menetapkan kebijakan UN pendidikan agama. Kita juga berharap, kebijakan UN pendidikan agama bukan hanya merupakan “proyek” yang tidak memiliki landasan akademik yang kuat, dasar yuridis yang jelas, dan pertimbangan sosio-kultural masyarakat. Karena itu, meskipun UN pendidikan agama telah menjadi kemauan kuat pemerintah, tetapi tidak dapat dipaksakan begitu saja dan masih perlu dikaji dengan seksama
Pertanyaan mendasar berkaitan dengan UN pendidikan agama adalah, apakah UN pendidikan agama merupakan kebijakan yang tepat untuk mengangkat kedudukan pendidikan agama? Apakah  UN pendidikan agama merupakan pilihan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik untuk meningkatkan mutu pendidikan agama? Apakah  penyelenggaraan UN pendidikan agama telah memiliki landasan hukum yang kuat dan jelas? Apakah UN pendidikan agama sesuai dengan aspek sosio-kultural masyarakat Indonesia yang plural?
Benarkah UN pendidikan agama dapat mengangkat kedudukan pendidikan agama dan menjadikannya menarik bagi peserta didik? Persoalan pendidikan agama sebenarnya tidak tergantung pada penilaiannya, melainkan ditentukan oleh prosesnya yang baik dan menarik. Dalam catatan J. Riberu, pendidikan agama yang kadang-kadang kurang menarik bagi siswa sebenarnya  bukan karena ajaran-ajaran agama tidak bernilai bagi peserta didik, melainkan karena cara penyajian yang kurang tepat. Sesuai dengan pandangan ini, problem pendidikan agama tidak terletak pada cara penilaiannya, melainkan tergantung cara penyajiannya. Dengan demikian, substansi masalah pendidikan agama terletak pada persoalan metodologi, sehingga dalih pemerintah menyelenggarakan UN pendidikan agama untuk maksud mengangkat kedudukan pendidikan agama tidak tepat.
Berkaitan dengan alasan untuk meningkatkan mutu pendidikan agama, menurut pendapat saya, kebijakan UN pendidikan agama juga tidak berdasar yang kuat. Jika pemerintah memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan agama, seharusnya terlebih dahulu melakukan kajian secara ilmiah yang serius dengan melibatkan kalangan perguruan tinggi.  Dalam Laporan UNESCO The International Commission on Education for Twenty-first Century disebutkan bahwa "memperbaiki mutu pendidikan pertama-tama tergantung perbaikan perekrutan, pelatihan, status sosial, dan kondisi kerja para guru”. Berdasar pernyataan tersebut, inti permasalahan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, termasuk pendidikan agama terletak pada mutu gurunya. Dengan demikian, untuk meningkatkan mutu pendidikan agama tentunya harus dimulai dari peningkatan mutu guru pendidikan agama.
Selain pertimbangan di atas, penyelenggaraan UN pendidikan agama belum memiliki dasar hukum yang kuat. Untuk penyelenggaraan UN pendidikan agama, karena melibatkan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional perlu ada Surat Keputusan Bersama kedua kementerian. Lebih dari itu, proses penetapan kebijakan UN pendidikan agama juga perlu melibatkan stakeholders, termasuk para penyelenggara pendidikan swasta. Dengan demikian, penyelenggaraan UN pendidikan agama tidak terbebani muatan politik, apalagi kepentingan yang lain.
Tidak kalah pentingnya adalah pertimbangan sosio-kultural. Penyelenggaraan pendidikan, termasuk pendidikan agama harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Dalam undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 4 secara tegas dinyatakan bahwa “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
Meskipun pemerintah telah menetapkan Standar Nasional Pendidikan, tetapi tidak berarti bahwa hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa hususnya berkaitan dengan “keragaman materi” pendidikan agama sebagai realitas sosial bangsa Indonesia dinafikan. Kita dapat menerima adanya standar kurikulum pendidikan agama, tetapi satuan pendidikan dan penyelenggara pendidikan (khususnya pendidikan swasta) memiliki hak yang dijamin undang-undang, termasuk berhak memilih dan menentukan serta mengembangkan materi pelajaran agama. Jika pendidikan agama diujikan secara nasional berarti dilakukan penyeragaman bukan hanya dalam standar kompetensi, tetapi juga dalam materi pelajaran, sehingga hak satuan pendidikan dan penyelenggara pendidikan tersebut  diabaikan. Dengan demikian, kebijakan UN pendidikan agama tidak sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tersebut.
Kita sepakat dan mendukung atas setiap usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan, termasuk pendidikan agama. Segala upaya peningkatan mutu pendidikan agama seharusnya dilaksanakan secara sistematis dan memiliki kerangka dasar yang jelas. Sebab, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan agama yang tidak memiliki landasan yang kuat, sebagaimana halnya kebijakan UN pendidikan agama justru kontraproduktif, merugikan masyarakat, dan pemborosan uang negara.
Sebelum kita memberikan argumen antara setuju dan tidaknya diadakan USBN PAI, terlebih dahulu kita bahas sebenarnya apa USBN PAI itu. Direktur PAI menjelaskan kronologi lahirnya ujian mata pelajaran Pendidikan Agama Islam sekaligus menegaskan bahwa istilah yang digunakan adalah USBN PAI. Jadi, USBN berbeda dengan Ujian Nasional (UN) ataupun Ujian Sekolah (US). Menurutnya, kebijakan USBN PAI lahir dilatarbelakangi antara lain untuk menaikkan derajat PAI, aspirasi guru PAI, meningkatkan mutu PAI sebagai garda depan pendidikan moral dan ketakwaan, PAI lebih sekedar sebagai mata pelajaran pelengkap, sampai pada rekomendasi Komisi VIII DPR RI tahun 2008 yang menghendaki PAI diUNkan. Sifat USBN PAI juga bukan sebagai penentu kelulusan melainkan hanya sebagai salah satu dasar pertimbangan kelulusan peserta didik.
Adanya sedikit gambaran mengenai USBN PAI di atas, maka kami dapat  menimbang dan memutuskan untuk setuju diadakannya ujian tersebut. Sesuai tujuan dan fungsi USBN dalam Pedoman Pelaksanaan USBN PAI SD, SMP, SMA/SMK yang salah satunya untuk pembinaan dan peningkatan mutu Pendidikan Agama Islam. Kita ketahui bahwa pada saat ini mata pelajaran Pendidikan Agama Islam cenderung disepelekan dan dikesampingkan. Hal ini dikarenakan siswa cenderung konsentrasi pada Ujian Nasional seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan mata pelajaran lainnya sesuai dengan jurusannya masing-masing. Kebijakan sekolah pun memperbanyak jam pelajaran yang di UNkan tersebut sehingga mata pelajaran yang lain, bahkan Pendidikan Agama Islam menjadi korban pengurangan jam mata pelajaran. Terbukti dari pengalaman kami pada saat duduk di bangku SMA. Pada awalnya jam mata pelajaran PAI adalah 3 jam setiap minggunya, akan tetapi jam pelajaran PAI ini dikurangi menjadi 2 jam. Hal ini semakin memojokkan mata pelajaran tersebut. Kita ketahui bahwa ilmu yang wajib dimiliki oleh setiap muslim adalah ilmu agama, sedangkan ilmu yang lain hukumnya fardhu kifayah. Einstein pun pernah mengatakan bahwa “Pengetahuan tanpa Agama adalah buta, Agama tanpa pengetahuan adalah lumpuh”. Hal ini dapat disimpulkan bahwa antara ilmu dan agama harus berjalan secara beriringan.
            Banyak dari kalangan orang yang tidak setuju dengan USBN PAI memiliki alasan bahwa dengan diadakannya Ujian tersebut justru akan menjadi kericuhan dan perkelahian karena mengandung masalah furu’iyah. Setiap daerah memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai agama. Alasan ini kurang kuat karena soal yang mengandung masalah furu’iyah tidak dimasukkan dalam soal. Di samping itu sesuai dengan pedoman pelaksanaan USBN PAI, disebutkan bahwa soal USBN PAI ditentukan dengan cara  menggabungkan 25% butir soal yang dibuat Penyelenggara Tingkat Pusat dan 75% butir soal yang dibuat Penyelenggara Tingkat Kabupaten/Kota.
            Para kelompok yang tidak setuju diadakannya USBN juga beralasan bahwa dengan diadakannya ujian ini maka akan cenderung mengutamakan pada aspek kognitif saja. Padahal yang terpenting dari agama itu adalah afektifnya, atau perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga belum kami terima alasannya karena di dalam USBN PAI, yang diujikan tidak hanya pada aspek kognitifnya saja. Akan tetapi psikomotoriknya pun diuji dengan diadakannya ujian praktek. Pada ranah afektifnya, guru memberikan laporan dan penilaian kepada siswa mengenai perilakunya di sekolah, dan hasil nilai tersebut diserahkan kepada penyelenggara pusat. Jadi, apabila USBN PAI hanya mengembangkan kognitifnya saja itu tidak benar.
            Diadakannya USBN PAI justru akan lebih mudah dalam mengembangkan siswa dari ranah kognitif, psikomotorik, maupun afektif. Dengan adanya ujian ini secara otomatis jam mata pelajaran PAI di sekolah-sekolah akan ditambah. Apabila PAI tidak diUSBNkan justru akan semakin sulit dalam mengembangkan aspek afektif siswa. Rata-rata jam mata pelajaran PAI saat ini hanya 2 jam setiap minggunya. Hal ini belum tentu cukup untuk memberikan materi pada diri siswa, apalagi mengembangkan karakter siswa agar berakhlak mulia. Sebaliknya, dengan adanya tambahan jam mata pelajaran ini, maka akan semakin banyak pula waktu yang digunakan oleh guru PAI untuk membentuk kepribadian siswa. Di samping memiliki pengetahuan agama yang lebih luas juga memiliki kesempatan yang besar pula untuk memiliki akhlak yang mulia. Di sinilah tugas guru dalam membentuk karakter anak tersebut.
             Kami sengaja masuk jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan supaya bisa menjadi guru PAI. Ketika PAI diUSBNkan maka jam mata pelajaranpun akan ditambah, dan ketika jam mata pelajaran PAI ditambah secara otomatis akan membutuhkan guru PAI yang lebih banyak pula. Itu berarti kesempatan kami menjadi guru PAI pun juga semakin besar. Sangat munafik apabila kami menolak kesempatan yang ada ini. Dengan adanya kesempatan ini kita memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menjadi guru, mendapat gaji yang halal, bermanfaat bagi orang lain khususnya siswa, dan yang pasti insyaallah mendapat pahala dari Allah SWT




DAFTAR PUSTAKA

Ki Hajar Dewantara, Bagian I;Pendidikan, Yogyakarta:Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 2004
Makmur A. Makka, Sirkus-sirkus Demokrasi, Jakarta:The Habibie Center, 2006
Suwignyo Agus, Negara Minus Nurani;Esai-esai Kritis Kebijakan Publik,Jakarta;PT.Kompas Media Nusantara, 2009
Suryadi Ace, H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar,Bandung:Rosda Karya, 1994
Slamet, Margono, Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu, Bogor;IPB Press, 1999
Syah Muhibbin, Psikologi Belajar, Jakarta:Rajawali Press, 2009
Tilaar H.A.R., Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta:Rineka Cipta, 2000  
-----------., Standar Pendidikan Nasional, Jakarta:PT.Rineka Cipta, 2006
Wibowo Agus, Malpraktik Pendidikan, Yogyakarta:Genta Press, 2008
Wiyono Teguh, Rekonstruksi Pendidikan Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010
http://www.hariansumutpos.com/arsip/
http://www.depkominfo.go.id




[1] Teguh Wiyono, Rekonstruksi Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010) h.101
[2] http://www.hariansumutpos.com/arsip/
[3] A. Makmur Makka, Sirkus-sirkus Demokrasi, (Jakarta:The Habibie Center, 2006) h.84-85
[4] http://www.tempointeraktif.com/
[5] Agus Suwignyo, Negara Minus Nurani; Esai-Esai Kritis Kebijakan Publik, (Jakarta:PT. Kompas Media Nusantra, 2009) p. 222-225
[6] Ace Suryadi & H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar (Bandung: Rosdakarya 1994), h. 163
[7] H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h.14.
[8] Slamet, Margono, Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu, (Bogor: IPB Bogor, 1999), h.23
[9] Agus Wibowo, Malpraktik Pendidikan, (Yogyakarta:Genta Press, 2008) h. 72-77
[10] Data ini merupakan data gabungan dari Kominfo.Newsroomn tanggal 22/6/2009, 6/5/2010 dan 31/5/2010, http://www.depkominfo.go.id
[11] K.H. Dewantara, Bagian I; Pendidikan, Yogyakarta:Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 2004. Cetakan ketiga

0 komentar:

Posting Komentar