1.
Prinsip
Penilaian
a.
Valid/sahih
Penilaian
hasil belajar oleh pendidik harus mengukur pencapaian kompetensi yang
ditetapkan dalam standar isi (standar kompetensi dan kompetensi dasar)
dan standar kompetensi lulusan. Penilaian valid berarti
menilai apa yang seharusnya dinilai dengan menggunakan alat yang sesuai untuk
mengukur kompetensi.
b. Objektif
Penilaian
hasil belajar peserta didik
hendaknya tidak dipengaruhi oleh subyektivitas
penilai, perbedaan latar belakang agama, sosial-ekonomi, budaya, bahasa,
gender, dan hubungan emosional.
c. Transparan/terbuka
Penilaian
hasil belajar oleh pendidik bersifat terbuka artinya prosedur penilaian,
kriteria penilaian dan dasar pengambilan keputusan terhadap hasil
belajar peserta didik dapat diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan.
d. Adil
Penilaian
hasil belajar tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena
berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat
istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
e. Terpadu
Penilaian
hasil belajar oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan
dari kegiatan pembelajaran.
f. Menyeluruh
dan berkesinambungan
Penilaian
hasil belajar oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan
menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan
kemampuan peserta didik.
g. Bermakna
Penilaian
hasil belajar oleh pendidik hendaknya mudah dipahami, mempunyai arti,
bermanfaat, dan dapat ditindaklanjuti oleh semua pihak, terutama guru, peserta
didik, dan orangtua serta masyarakat
h. Sistematis
Penilaian
hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berencana dan bertahap dengan
mengikuti langkah-langkah baku.
i.
Akuntabel
Penilaian
hasil belajar oleh pendidik dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik,
prosedur, maupun hasilnya.
j.
Beracuan kriteria
Penilaian hasil belajar oleh
pendidik didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang
ditetapkan.
Pendekatan dalam
melaksanakan penilaian
Dalam
evaluasi program pendidikan yang banyak dikenal dan sering dijadikan rujukan
dalam pelaksanaan evaluasi program pendidikan, terdapat Beberapa Pendekatan
dalam penilaian pendekatan yang digunakan yakni : a) Objective-Oriented
Approach, b) Management-Oriented Approach, dan c) Naturalistic-Participant
Approach.d)penilaian berbasis kelas, e)penilaian acuan norma dan f) penilaian
acuan patokan.
a)
OBJECTIVE- ORIENTED EVALUATION
APPROACH
Model
Objective-Oriented Approach (pendekatan penilaian berorientasi tujuan) adalah
pendekatan dalam melakukan evaluasi program yang menitik beratkan pada
penilaian ketercapaian tujuan. Oleh karena itu, pandangan ini mempersyaratkan
bahwa suatu program pendidikan harus menetapkan atau merumuskan tujuan-tujuan
spesifiknya secara jelas. Terhadap tujuan-tujuan program yang sudah ditetapkan
tersebut barulah evaluasi program difokuskan.
Ketercapaian
tujuan belajar tersebut tercermin dari hasil tes siswa. Oleh karena itu, tes
sebagai alat (instrument) untuk melakukan penilaian selalu dibuat berdasarkan
pada tujuan-tujuan belajar yang telah ditetapkan. Kalau anda pernah menjadi
seorang guru, anda tentu masih ingat bagaimana membuat kisi-kisis penyusunan
soal yang selalu didasarkan pada ranah-ranah hasil belajar yang sudah
ditetapkan sebagai tujuan pembelajaran. Kegiatan penilaian seperti yang
dilakukan guru itu adalah salah satu contoh penerapan pendekatan penilaian
program yang berorientasi tujuan (objective-oriented approach).
Tyler
mendefinisikan penilaian pendidikan sebagai suatu proses untuk menentukan
sejauhmana tujuan-tujuan pendidikan dari program sekolah atau kurikulum
tercapai. Pendekatan penilaian
yang dikemukakan Tyler ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1)
Menentukan tujuan secara jelas
2)
Mengklasifikasikan tujuan-tujuan tersebut
3)
Mendefinisikan tujuan-tujuan dalam istilah perilaku terukur
4)
Temukan situasi dimana prestasi atau tujuan dapat diperlihatkan
5)
Mengembangkan atau memilih teknik-teknik pengukuran
6)
Mengumpulkan data
7) Membandingkan
data kinerja dengan tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam perilaku terukur.
Langkah-langkah
sebagaimana diuraikan di atas merupakan suatu siklus, artinya bahwa jika dari
hasil membandingkan data kinerja dengan tujuan sudah diperoleh berupa
kesenjangan-kesenjangan, maka perlu dilakukan perumusan/ penentuan ulang tujuan
program yang telah dievaluasi tersebut.
Kalau
kita simak secara seksama, langkah-langkah di atas terdiri dari dua bagian
pokok, yaitu: 1) bagian yang terkait dengan kegiatan perencanaan program
(langkah satu sampai tiga), 2) bagian yang secara langsung memang merupakan
kegiatan dalam tahap evaluasi program (langka empat dan selanjutnya). Dengan
demikian, siklus kegiatan yang dimaksud sebenarnya lebih merupakan siklus
kegiatan pengelolaan dan pengembangan program. Hal ini bisa dimaklumi oleh
karena pemikiran ini dilahirkan dalam rangka pengembangan kurikulum.
Pola
pikir yang ditawarkan Tyler ini sangat logis dan dapat diterima secara ilmiah,
bahkan mudah untuk ditiru atau dilakukan oleh para pelaksana penilaian
pendidikan (evaluator). Salah satu penerapan model ini oleh Tyler adalah
bagaimana melakukan pengukuran tes kemampuan awal siswa (pre-test) dibandingkan
dengan hasil pengukuran paska kegiatan pembelajaran (post-test). Kegiatan ini
menjadi salah satu teknik yang banyak berpengaruh terhadap cara-cara penilaian
program pembelajaran di dunia pendidikan. Contoh yang dilakukan Tyler ini pula
lah yang banyak dilakukan oleh guru-guru kita dalam melakukan penilaian
keberhasilan program pembelajaan di kelas selama ini. Secara praktis,
pendekatan ini memang tidak terlalu menyita waktu karena hanya dilakukan pada
akhir kegiatan pembelajaran. Di samping itu, dengan pendekatan seperti ini
sangat sejalan dengan tradisi pemikiran manajemen (pengelolaan) yang
menempatkan kegiatan evaluasi sebagai kegiatan terakhir.
b)
DISCREPANCY EVALUATION MODEL
Pendekatan
lain yang banyak dipengaruhi pemikiran Tyler dikembangkan Provus berdasarkan
pada tugas-tugas evaluasi di sebuah sekolah umum di Pittsburgh, Pensylvania.
Provus (1973) memandang penilaian sebagai proses pengelolaan informasi
berkelanjutan yang dirancang memberi pelayanan sebagai the watchdog of program
management’dan the handmaiden of administration in the management of program
development trough sound decision making .
Walaupun
nampak adanya pendekatan manajemen dalam pemikiran Provus, tetapi tradisi Tyler
lebih dominan. Hal ini dapat dilihat dari definisi evaluasi yang ia kembangkan.
Menurut Provus, evaluasi adalah proses: 1) menyetujui berdasarkan standar
(istilah lain yang digunakan secara bergantian dengan istilah tujuan), 2)
menentukan apakah ada kesenjangan antara kinerja aspek-aspek program dengan
standar kinerja yang ditetapkan; 3) menggunakan informasi tentang
kesenjangan-kesenjangan yang ditemukan sebagai bahan untuk meningkatkan
mengelola, atau mengakhiri program atau salah satu aspek dari program tersebut.
Pendekatan
yang diperkenalkan Provus ini dinamakan Discrepancy Evaluation Model.
Pendekatan ini memperkenalkan pelaksanaan evaluasi dengan langkah-langkah yang
perlu dilakukan, meliputi:
1.
Definisi
2.
Instalasi
3.
Proses
4.
Produk
5.
Analisis Biaya-Manfaat (Cost-Benefit Analysis)
Dalam
tahap definisi, focus kegiatan dilakukan untuk merumuskan tujuan, proses atau
aktifitas, serta pengalokasian sumberdaya dan partisipan untuk melakukan
aktifitas dan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Provus,
program pendidikan merupakan system dinamis yang meliputi inputs (antecedent),
proses, dan outputs (juga outcomes). Standar atau harapan-harapan yang ingin
dicapai ditentukan untk masing-masing komponen tersebut. Standar ini merupakan
tujuan program yang kemudian menjadi criteria dalam kegiatan penilaian yang
dilakukan.
Selama
tahap instalasi, rancangan program digunakan sebagai standar untuk
mempertimbangkan langkah-langkah operasional program. Seorang evaluator perlu
mengembangkan seperangkat tes kongruensi untuk mengidentifikasi tiap
kesenjangan antara instalasi program atau aktifitas yang diharapkan dan yang
actual. Pada tahap proses, evaluasi difokuskan pada upaya bagaimana memperoleh
data tentang kemajuan para peserta program, untuk menentukan apakah perilakunya
berubah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Jika ternyata tidak, maka
perlu dilakukan perubahan terhadap aktifitas-aktiaitas yang diarahkan untuk
mencapai tujuan perubahan perilaku tersebut.
c)
PENILAIAN BERORIENTASI TUJUAN
Pendekatan
penilaian yang berorientasi tujuan ini secara teknologis telah merangsang
berkembangnya proses-proses perumusan tujuan secara spesifik serta pengembangan
atau penemuan instrument-instrumen maupun prosedur pengukuran yang beragam.
Dilihat dari kajian dan literature, pendekatan penilaian berorientasi tujuan
sudah lebih banyak dan terarah kepada persoalan bagaimana pendekatan ini
diaplikasikan dalam penilaian di kelas, penilaian sekolah, penilaian program
sekolah di satu kabupaten, atau lainnya. Oleh karena itu, secara sederhana
dapat dikatakan bahwa kelebihan pendekatan ini adalah mudah dipahami, mudah
untuk diimpelementasikan, dan disepakati banyak pendidik dapat menghasilkan
informasi yang relevan dengan misi mereka.
Pendekatan
ini juga telah menyebabkan para pendidik merefleksikan dan mengklarifikasi
perhatian mereka terhadap pemikiran-pemikiran terdahulu berkaitan dengan
ambiguitas tujuan-tujuan pendidikan. Diskusi-diskusi bersama masyarakat tentang
tujuan pendidikan yang dianggap paling tepat, dijadikan ajang untuk
meningkatkan validitas program pendidikan yang dilakukan.
Disamping
manfaat dan keungulan sebagaimana dipaparkan di atas, pendekatan ini juga
mendapatkan beberapa kritik yang sekaligus meggambarkan sebagai kelembahan dari
pendekatan tersebut. Beberapa kritik yang mengemuka adalah :
1) komponen penilaian
kurang realistis ( lebih memfasilitasi pengukuran dan penilaian ketercapaian
tujuan daripada menghasilkan pertimbangan-pertimbangan tentag kebenaran dan
merit secara eksplisit)
2) mengabaikan nilai
(value) dari tujuan itu sendiri;
3) mengabaikan
alternative penting yang harus dipertimbangkan dalam perencaaan suatu program
pendidikan
4) mengabaikan konteks
dimana suatu penilaian dilakukan;
5) mengabaikan tujuan
penting lainnya diluar tujuan yang dirumuskan (tujuan yang tidak diharapkan);
6.) mengabaikan fakta
dari nilai suatu program tidak merefleksikan tujuan
Dari
kelemahan tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa kelemahan
pendekatan berorientasi
tujuan dapat menghasilkan suatu tunnel
vision yang cenderung
membatasi efektifitas dan potensi penilaian.
d) PENILAIAN BERBASIS KELAS
Penilaian
kelas = pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru untuk memberikan
keputusan (nilai) hasil belajar siswa berdasarkan tahapan belajarnya.
Berorientasi pada kompetensi, mengacu pada patokan, ketuntasan belajar,
dilakukan dengan berbagai cara. Dilakukanmelalui kumpulan kerja siswa
(portopolio), hasil karya (products), penugasan (projects), Unjuk kerja
(performances) dan tes tulis.
Tujuan
Penilaian Kelas :
1.
keeping-track (proses pembelajaran sesuai dengan rencana)
2.
cheking-up (mencek kelemahan dalam proses pembelajaran)
3.
finding-out(menemukan kelemahan & keslahan dalam pembelajaran)
4.
summing-up (menyimpulkan pencapaian kompetensi peserta didik)
Manfaat
: informasi, umpan balik, memantau kemajuan, umpan balik bagi guru, informasi
kepada orang tua dan komite sekolah.
Fungsi
Penilaian Kelas :
1.
Alat menetapkan siswa dalam penguasaan kompetensi
2.
Sebagai bimbingan
3.
Sebagai alat diagnosis
4.
Sebagai alat prediksi
5.
Sebagai grading
6.
Sebagai alat seleksi
Jenis-jenis
penilaian kelas :
1.
Melalui Portofolio
2.
Melalui unjuk kerja (performance)
3.
Melalui penugasan (project)
4.
Melalui hasil kerja (Product)
5.
Melalui tes tertulis
Sasaran atau ruang lingkup evaluasi berkaitan dengan cakupan
objek evaluasi itu sendiri. Jika objek evaluasi tentang pembeelajaran, maka
semua hal yang berkaitan dengan pembelajaran menjadi ruang lingkup evaluasi
pembelajaran. Dalam kesempatan ini, ruang lingkup evaluasi pembelajaran akan
ditinjau dari berbagai perspektif, yaitu domain hasil belajar, sistem
pembelajaran, proses dan hasil belajar, dan kompetensi. Hal ini dimaksudkan
agar guru betul-betul dapat membedakan antara evaluasi pembelajaran dengan
penilaian hasil belajar sehingga tidak terjadi kekeliruan atau tumpang tindih
dalam penggunaannya.
Dalam bukunya Benyamin S. Bloom, dkk. (1956) menjelaskan hasil belajar dapat
dikelompokan ke dalam tiga domain, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.
Setiap domain disusun menjadi beberapa jenjang kemampuan, mulai dari hal yang
sederhana sampai dengan hal yang kompleks dan mulai dari hal yang konkrit
sampai dengan hal yang abstrak. Adapun rincian domain tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Domain Kognitif (cognitive
domain). domain ini memiliki enam jenjang kemampuan, yaitu:
a.
Pengetahuan (knowledge), yaitu
jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik untuk dapat mengenali atau
mengetahui adanya konsep, prinsip, fakta atau istilah tanpa harus mengerti atau
dapat menggunakannya. kata kerja operasional yang dapat digunakan,
diantaranya mendefinisikan, memberikan, memilih, menyatakan.
b.
Pemahaman (comprehension), yaitu
jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik untuk memehami atau mengerti
tentang materi pelajaran yang disampaikan guru dan dapat memanfaatkannya tanpa
harus menghubungkannya dengan hal-hal lain. kemampuan ini dijabarkan lagi
menjadi tiga, menerjemahkan, menafsirkan, dan mengekstrapolasi.
c.
Penerapan (application), yaitu
jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik untuk menggunakan ide-ide umum,
tata cara ataupun metode, prinsip, dan teori-teori dalam situasi baru dan konkret.
d.
Analisis (analysis), yaitu
jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik untuk menguraiakn suatu situasi
atau keadaan tertentu ke dalam unsur-unsur atau komponen pembentukannya.
e.
Sintesis (synthesis), yaitu
jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik untuk menghasilkan sesuatu yang
baru dengan cara menggabungkan berbagai faktor. hasil yang diperoleh dapat
berupa tulisan, rencana atau mekanisme.
f.
Evaluasi (evaluation), yaitu
jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik untuk mengevaluasi suatu situasi,
keadaan, pernyataan atau konsep berdasarkan criteria tertentu.
2) Domain
afektif (affective
domain), yaitu internalisasi sikap yang menunjuk kea rah pertumbuhan
batiniah dan terjadi bila peserta didik menjadi sadar dengan nilai yang
diterima, kemudian mengambil sikap sehingga menjadi bagian dari dirinya dalam
membentuk nilai dan menentukan tingkah laku. Domain afektif terdiri atas
beberapa jenjang kemampuan, yaitu:
a)
Kemampuan
menerima (receiving), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut
peserta didik untuk peka terhadap eksistensi fenomena atau ransangan tertentu.
b)
Kemampuan
menanggapi/menjawab (responding), yaitu jenjang kemampaun yang
menuntut peserta didik untuk tidak hanya peka pada suatu fenomena, tetapi juga
bereaksi terhadap salah satu cara.
c)
Menilai (valuing),
yaitu jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik untuk menilai suatu objek,
fenomena atau tngkah laku tertentu secara konsisten.
d)
Organisasi
(organization), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik
untuk menyatukan nilai-nilai yang berbeda, memecahkan masalah, membentuk suatu
system nilai.
3) Domain Psikomotor (psychomotor domain), yaitu
kemampuan peserta didik yang berkaitan dengan gerakan tubuh atau
bagian-bagiannya, mulai dari gerakan yang sederhana sampai dengan gerkan yang
kompleks.
Berdasarkan taksonomi bloom di atas, maka kemampuan
pesertadidik dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tingkat tinggi dan
tingkat rendah. Kemampuan tingkat rendah terdiri atas pengetahuan, pemahaman,
dana plikasi, sedangkan kemampuan tingkat tinggi meliputi analisis, sintesis,
evaluasi, dan kreatifitas. Dengan demikian kegiatan peserta didik dalam
menghapal merupakan tingkat rendah.
Dilihat dari cara berfikir, maka kemampuan berfikir tingkat
tinggi dibagi menjadi dua, yaitu berfikir krisis dan berfikir kreatif. Berfikir
kreatif adalah kemampuan melakukan generalisasi dengan menggabungkan, mengubah
atau mengulang kembali keberadaan ide-ide tersebut. Kemampuan berfikir krisis
merupakan kemampuan memberikan rasionalisasi terhadap suatu dan mampu
memberikan penilaian terhadap suatu tersebut. Rendahnya kemampuan peserta didik
dalam berpikir, bahkan hanya dapat menghafal, tidak terlepas dari kebiasaan
guru dalam melakukan evaluasi, atau penilaian yang hanya mengukur tingkat
kemampuan yang rendah saja melalui paper dan pencil test. Peserta didik tidak
akan mempunyai kemampuan berfikir tingkat tinggi jika tidak diberikan
kesempatan untuk mengembangkannya dan tidak diarahkan untuk itu.
7.
Pengertian penilaian
Pengertian Penilaian
pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk
menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Berdasarkan pada
PP. Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bahwa penilaian
pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:a.
Penilaian hasil belajar oleh pendidik; b. Penilaian hasil belajar oleh
satuan pendidikan; c. Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.Setiap satuan
pendidikan selain melakukan perencanaan dan proses pembelajaran, juga
melakukan penilaian hasil pembelajaransebagai upaya terlaksananya proses
pembelajaran yang efektif dan efisien
8.
Definisi Pengayaan
Kegiatan
pengayaan adalah suatu kegiatan yang diberikan kepada siswa kelompok cepat agar
mereka dapat mengembangkan potensinya secara optimal dengan memanfaatkan sisa
waktu yang dimilikinya.
Kegiatan
pengayaan dilaksanakan dengan tujuan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
memperdalam penguasaan materi pelajaran yang berkaitan dengan tugas belajar
yang sedang dilaksanakan sehingga tercapai tingkat perkembangan yang optimal.
Tugas
yang dapat diberikan guru pada siswa yang mengikuti kegiatan pengayaan di
antaranya adalah memberikan kesempatan menjadi tutor sebaya, mengembangkan
latihan praktis dari materi yang sedang dibahas, membuat hasil karya, melakukan
suatu proyek, membahas masalah, atau mengerjakan permainan yang harus
diselesaikan siswa. Apapun kegiatan yang dipilih guru, hendaknya kegiatan
pengayaan tersebut menyenangkan dan mengembangkan kemampuan kognitif tinggi
sehingga mendorong siswa untuk mengerjakan tugas yang diberikan.
Dalam
pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran tuntas, lazimnya
guru mengadakan penilaian awal untuk mengetahui kemampuan peserta didik
terhadap kompetensi atau materi yang akan dipelajari sebelum pembelajaran
dimulai. Kemudian dilaksanakan pembelajaran dengan menggunakan berbagai
strategi seperti ceramah, demonstrasi, pembelajaran kolaboratif/kooperatif,
inkuiri, diskoveri, dsb. Melengkapi strategi pembelajaran digunakan juga
berbagai media seperti media audio, video, dan audiovisual dalam berbagai
format, mulai dari kaset audio, slide, video, komputer multimedia, dsb. Di
tengah pelaksanaan pembelajaran atau pada saat kegiatan pembelajaran sedang
berlangsung, diadakan penilaian proses dengan menggunakan berbagai teknik dan
instrumen dengan tujuan untuk mengetahui kemajuan belajar serta seberapa jauh
penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah atau sedang dipelajari.
Penilaian proses juga digunakan untuk memperbaiki proses pembelajaran bila
dijumpai hambatan-hambatan.
Dalam
memilih dan melaksanakan kegiatan pengayaan, guru harus memperhatikan:
3. faktor
waktu.
a.
Definisi
Remedial
Remedial merupakan program pengajaran perbaikan yang
khusus diberikan guru kepada siswa (individu/kelompok) karena siswa tersebut
memiliki masalah dalam belajar (kurang/tidak menguasai materi belajar).
Remediasi
mempunyai padanan remediation dalam
bahasa Inggris. Kata ini berakar kata ‘toremedy’
yang bermakna menyembuhkan. Remediasi merujuk pada proses penyembuahan.
Remedial merupakan kata sifat. Karena itu dalam bahasa Inggris selalu bersama
dengan kata benda, misalnya ‘remedial
work’, yaitu pekerjaan penyembuhan, ‘remedial
teaching’ – pengajaran penyembuhan. Dsb. Di Indonesia, istilah ‘remedial’ sering ditulis berdiri sendiri
sebagai kata benda. Mestinya dituliskan menjadi pengajaran remedial, atau
kegiatan remedial dsb. Dalam bagian ini istilah remediasi dan remedial
digunakan bersama-sama, yang merujuk pada suatu proses membantu siswa mengatasi
kesulitan belajar terutama mengatasi miskonsepsi-miskonsepsi yang dimiliki.
Dari
pengertian di atas diketahui bahwa suatu kegiatan pembelajaran dianggap sebagai
kegiatan remediasi apabila kegiatan pembelajaran tersebut ditujukan untuk
membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami materi pelajaran. Guru
melaksanakan perubahan dalam kegiatan pembelajarannya sesuai dengan kesulitan
yang dihadapi para siswa.
Sifat
pokok kegiatan pembelajaran remedial ada tiga yaitu: (1) menyederhanakan konsep
yang komplek (2) menjelaskan konsep yang kabur (3) memperbaiki konsep yang
salah tafsir. Beberapa perlakuan yang dapat diberikan terhadap sifat pokok
remedial tersebut antara lain berupa: penjelasan oleh guru, pemberian
rangkuman, dan advance organizer, pemberian tugas dan lain-lain.
Pokok
bahasan yang belum dapat dikuasai peserta didik merupakan kesulitan belajar
untuk mempelajari pokok bahasan berikutnya. Kenyataan ini akan diperburuk kalau
pokok bahasan yang baru yang akan dipelajari memerlukan keterampilan prasyarat,
disisi lain pokok bahasan yang menjadi prasyarat belum tuntas. Kesulitan lain
untuk mencapai tingkat ketuntasan belajar anatara lain: perbedaan individual
diantara peserta didik dalam kelas dengan sistem pembelajaran klasikal.
Asumsi yang mendasari pertimbangan metode
pembelajaran remedial dengan pendekatan secara individual terhadap peserta
didik yang mengalami kesulita belajar dengan pemberian rangkuman dan advance
organizer adalah: (1) belajar hakekatnya adalah individual (2) pembelajaran
klasikal akan selalu dihadapkan dengan ketidak tuntasan belajar (3) kalau
peserta didik yang mengalami kesulitan belajar dan diberikan pembelajaran
kembali secara klasikal seperti pembelajaran utama, peserta didik akan
mengalami kesulitan yang serupa (4) rangkuman dan advance organizer merupakan
strategi pembelajaran untuk memudahkan pemahaman materi
0 komentar:
Posting Komentar