Sabtu, 07 Juni 2014

PAI di Perguruan Tinggi Umum (PTU)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PERGURUAN TINGGI UMUM
Oleh:
SUPENDI

A.    PENDAHULUAN
Di Perguruan Tinggi Umum (PTU), pendidikan agama termasuk kategori Matakuliah Umum (MKU) seperti Bahasa Indonesia, IAD/IBD/ISD, yang biasanya dianggap kurang penting jika dibandingkan dengan Matakuliah Jurusan/Program Studi.  Hal Ini berbanding terbalik dengan di IAIN.  Sampai saat ini, IAIN tampaknya masih sibuk dengan persoalan ilmu-ilmu agama Islam secara umum dan, di Fakultas Tarbiyah yang membidangi pendidikan Islam, mereka tampaknya masih sibuk dengan persoalan pendidikan Islam secara umum terutama di pesantren dan madrasah sehingga pendidikan agama Islam di sekolah umum, apalagi di perguruan tinggi umum, tersisihkan.
Akibat dari keadaan ini adalah bahwa PAI di PTU, menjadi tak terbina sehingga arti pentingnya pun tidak kelihatan.  Ada atau tidaknya PAI di PTU seolah-olah
tidak memberi dampak apa-apa bagi perilaku lulusan (wujuduhu ka adamihi).  Keberhasilan PAI di PTU sepenuhnya tergantung pada kreativitas masing-masing dosen agama Islam yang bekerja di PTU itu sendiri.  Dosen agama yang kreatif dan berdedikasi tinggi mungkin akan mampu menghasilkan program PAI di PTU yang mampu memberi pengaruh mendalam pada diri mahasiswanya sementara dosen agama Islam yang kurang kreatif mungkin akan menghasilkan program PAI yang ‘seadanya’, yang hanya memenuhi kewajiban formal saja. 
Permasalahan yang sangat menonjol di perguruan tinggi umum adalah tidak adanya aturan yang jelas pengintegrasian nilai-nilai Islami dalam tataran kebijakan maupun kurikulum, walapun semua yang membuat kebijakan kebanyakan beragama Islam. Taruh saja, hal kecil yang mungkin menjadi tolak ukur di perguruan tinggi umum adalah masalah-masalah syari’at yang banyak diabaikan oleh mereka. Sebagai contoh adalah shalat, padahal ini menjadi ukuran seorang muslim dalam hubungannya dia dengan Allah Subhanahu wata’la dan hubungannya dengan manusia. Padahal mereka diajarkan hal-hal yang menjadi kewajiban dan beban syari’at seperti shalat, tapi itu dianggap sebagai sebuah beban, walapun hanya membutuhkan waktu sangat sedikit sekali untuk menyelesaikannya, tidak lebih dari sepuluh menit dari persiapan sampai selesai shalat. Tapi sangat susah untuk dilaksanakan, apalagi akan sampai pada shalat tepat waktu.
Permasalahannya adalah, tidak hanya sekedar tidak mendapatkan pendidikan Agama Islam yang baik, tapi mereka mendapatkan pendidikan agama yang lumayan dan bahkan sangat baik. Tapi mereka mendapatkannya bukan dari dosen mata kuliah pendidikan Agama Islam, Dalam beberapa kasus kemudian mereka yang mendapatkan Pendidikan Islam melalui halaqah-halaqah, menjadikan mereka sebagai penganut Islam yang sedikit agak “keras” atau radikal. Dan dalam beberapa deretan target orang yang melakukan bom bunuh diri, kebayakan dari mereka di perguruan tinggi umum yang mengikuti halaqah-halaqah tertentu.
Sebenarnya pendidikan Islam di perguruan tinggi umum saat ini masih belum maksimal, di samping karena kehetrogenan mahasiswa /mahasiswinya dan dengan tingkat pengetahuan agama yang berbeda-beda. Maka pada dasarnya harus juga dilakukan pendekatan yang berbeda kepada mereka. Kecuali beberapa formulasi yang dianggap bisa digeneralisasi, seperti shalat dan puasa pada tataran praktek. Tapi seperti membaca al-Qur’an tidak dapat digeneralisasi, karena kemampuan mahasiswa dan mahasiswi berbeda-beda, maka pendekatan yang dilakukan pun berbeda-beda.
Pendidikan Islam sendiri permasahan shalat dan puasa bukan menjadi permasahan satu-satunya. Tapi di sini paling tidak menjadi sebuah indikator paling rendah adalah shalat itu sendiri. Namun dalam memberikan gambaran tentang shalat maupun yang lainnya bagi mereka yang masih awwam akan agama, tidak dengan melakukan pendekatan halal dan haram. Karena secara praktis, mereka belum tahu akan halal haram dalam agama. Diperlukan pemahaman tentang kenapa orang harus berIslam dan mempraktekkan ajaran-ajaran Agama Islam. Sambil memperkenalkan kepada mereka tentang praktek ajaran-ajaran Islam. Tapi terlebih dahulu adalah memperkenalkan danmenyadarkan diri mereka akan Islam, sehingga ada nilai dalam diri mereka yang dapat diinternalisasikan. Jika mereka sudah memahami, maka akan sangat mudah untuk mengajak mereka ke arah yang lebih kompleks.
Di sini diperlukan perubahan mindset terlebih dahulu oleh seorang dosen agar mahasiswa/mahasiswi mempunyai arah pemahaman yang sama akan apa yang dipelajari dalam Pendidikan Agama Islam, sehingga paling tidak membuat mereka sadar akan apa yang dipelajari, sehingga mahasiswa/mahasiswi dapat memperkirakan tingkat kemampuan mereka akan Pendidikan Agama Islam yang dipelajari.
Yang tidak kalah penting adalah Perubahan kebijakan pendidikan agama Islambaik dari departemen yang membuat kebijakan terttinggi, sampai pada tataran kebijakan di tingkat rektorat perguruan tinggi umum.
Kebijakan dapat berupa mata kuliah Pendidikan Islam sendiri atau berkaitan dengan alpkasi waktu dan dana untuk pengembangan Pendidikan Agama Islam. karena untuk memenuhi kebutuhan internalisasi agama mahasiswa/mahasiswi diperlukan pendekatan yang berbeda dan tidak hanya sekedar di dalam ruang kuliah. Mungkin diperlukan kuliah tamu dari pakar tertentu, atau melakukan studi banding atau kegiatan-kegiatan keagamaan yang dapat merangsang mreka untuk memahami Islam lebih baik. Tingkat lembaga lah yang memerlukan mereka pada tahap awal, sehingga diperlukan anggaran untuk mendukung kegiatan.
Untuk bisa keluar dari masalah-masalah yang dihadapi oleh perguruan tinggi umum ini, maka ada beberapa aspek yang harus diperbaiki agar pendidikan Islam dapat berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Antara lain; pertama, mengganti dosen-dosen PAI dengan yang lebih kompetenDosen yang kompeten menjadi bagian yang sangat penting dalam pengajaran Pendidikan Islam di perguruan tinggi umum. Dosen Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi harus mampu memberikan materi Agama Islam sesuai dengan porsi dan pengetahuan mahasiswa/mahasiswi akan Islam sendiri. oleh karena itu, materi diberikan dengan tidak mengenarilisasi mahasiswa, mereka harus dipisahkan sesuai dengan pengetahuan mereka, mulai dari yang elementer sampai pada tingkat pengetahuan yang lebih baik. karena dalam agama sendiri diberikan aturan akan hal itu “ khatibu al-Nas ‘ala Qadri Uqulihim” (sampaikan sesuatu sesuai dengan kadar akal manusia itu sendiri).
Kedua; sebagai sebuah upaya pembinaan melalui pembiasan maka dosen Pendidikan Agama Islam perlu Mewajibkan mahasiswa/mahasiswi  menggunkan busana muslim saat mata kuliah Pendidikan Agama Islamhal ini perlu dilakukan karena sebagai sebuah upaya perubahan sikap dari mahasiswa/mahasiswi, sehingga tidak hanya sekedar belajar saja. ini juga sebagai sebuah aplikasi proses pembelajaran dengan praktik karena dikatakan, “apa yang saya dengar maka saya lupa, dan apa yang saya lihat maka saya paham, dan apa yang saya lakukan maka saya mengerti”. Ini mengisyaraktkan bahwa untuk melakukan sebuah internalisasi nilai Pendidikan Agama Islam itu sendiri dengan langsung mempraktekkan secara langsung, walapun itu hanya sebatas pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam. akan lebih lebih baik melakukannya walapun sedikit ketimbang tidak melakukan sama sekali. Pada tahap ini tidak perlu pengetahuan Islam dengan sangat kompleks sampai pada dalilnya, cukup mereka mengikuti dan nyaman dengan apa yang mereka pelajari dan lakukan. Sedangkan dalil bisa dibelakangkan, cukup bagi mereka walapun hanya sebatas taklid.
Ketiga; untuk lebih meratanya pemahaman mahasiswa/mahasiswi pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam maka perlu dilakukan pemilahan mahasiswa sesuai dengan tingkat pengetahuan merekaMemang pekerjaan ini sangat sulit, apalagi dengan jumlah mahasiswa yang sangat besar, tapi agar pemahaman mahasiswa tidak tumpang tindih, maka harus dilakukan. Karena mahasiswa di perguruan tinggi umum tidak semuanya mempunyai latar belakang agama yang baik, dan bahkan mungkin ada di antara mereka yang tidak tahu agama sama sekali. Sehingga tidak mungkin mereka disatukan dengan mahasiswa yang sudah mempunyai dasar. Karena bisa ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu tidak dapat dicerna oleh mereka yang tidak mempunyai dasar atau tidak menarik bagi mereka yang sudah mempunyai dasar keagamaan yang baik dan ini akan memberikan citra yang tidak baik bagi dosen pendidikan agama Islam, karena dianggap pengetahuannya hanya sampai di situ saja.
Keempat; Membuat materi sendiri oleh dosen sesuai dengan tingkat pemahaman mahasiswa akan Pendidikan Agama Islam sendiri. ini adalah rentetan langkah yang harus dilakukan di atas, karena mahasiswa sudah dibagi sesuai dengan pengetahuan mereka, maka dosen harus menyesuaikan materi dengan pengetahuan mereka, sehingga tidak mungkin melakukan generalisasi materi pada tingkat perguruan tinggi umum untuk mata kulian Pendidikan Agama Islam, karena melihat perbedaan pengetahuan mereka tersebut.
Kelima; yang tidak kalah penting adalah bagi perguruan tinggi yang mempunyai sumber daya dosen yang tidak memadai perlu melakukan pembinaan kepada mahasiswa/mahasiswi yang mempunyai pengetahuan agama yang baik. tujuan dilakukannya pembinaan, agar mereka yang mempunyai pengetahuan yang baik sebelum masuk perguruan tinggi dapat terus terjaga pengetahuan dan amal Islaminya. Sehingga tidak terpengaruh oleh kehidupan kampus yang tidak baik, karena pengetahuan yang mereka punya dihargai dan dimanfatkan dengan baik. di samping itu juga dapat menyuplai tenaga yang kurang dengan kompleksitas pengetahuan mahasiswa/mahasiswi itu sendiri.



B.     Regulasi Tenaga Dosen Pendidikan Agama Islam
Mata kuliah Pendidikan Agama Islam adalah mata kuliah yang lintas jurusan, ia harus dipelajari pada semua jurusan dan prodi, maka dibutuhkan dosen Pendidikan Agama Islam yang banyak. Apalagi untuk perguruan tinggi umum, dengan jumlah mahasiswa sampai ribuan orang, maka tidak mungkin hanya mengandalkan dosen Pendidikan Agama Islam beberapa orang saja. padahal pada mata kuliah lain, satu mata kuliah bisa dipegang oleh dua orang dosen, sedangkan untuk Pendidikan Agama Islam sendiri hanya oleh satu orang dan dengan jumlah kelas yang sangat besar. Ini tidak mungkin dapat tercapai mutu yang baik pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Oleh karena itu, perlu sebuah regulasi dan aturan dari pemerintah dan pada tingkat perguruan tinggi untuk pengampu dosen Pendidikan Agama Islam. membuat regulasi batasan minimal mahasiswa dengan ketersediaan dosen Pendidikan Agama Islam agar dapat tercapai mutu yang baik, tidak hanya sekedar pemenuhan mata kuliah saja, seperti yang terlihat selama ini. Regulasi tidak hanya berlaku pada perguruan tinggi umum negeri saja, tapi swasta juga diberlakukan.

C.    Regulasi jam kuliah pendidikan agama Islam
Pada tingkat perguruan tinggi perlu dilakukan perbaikan waktu untuk mata kuliah Pendidikan Agama Islam. karena selama ini banyak berlangsung mata kuliah Pendidikan Agama Islam dengan model seminar dan pengajian umum dengan jumlah mahasiswa yang sangat banyak sekali dalam satu ruangan. Dengan keadaan seperti ini sangat tidak memungkinkan Pendidikan Agama Islam dapat bermutu baik dan memberikan pengaruh pada mahasiswa, baik secara pengetahuan apalagi pada tingkat aplikasi.
Mata kuliah Pendidikan Agama Islam harus diposisikan juga seperti mata kuliah lainnya. Tidak dijadikan sebagai pelengkap saja, sehingga waktu perkuliahan juga harus sama, tidak pada waktu-waktu tertentu di luar mata kuliah yang lain, sehingga terkesan tidak penting.

D.    Kurikulum Pendidikan Islam perlu perubahan
Karena perguruan tinggi adalah lembaga yang tidak terikat oleh regulasi pemerintah pada aspek-aspek tertentu, maka perguruan tinggi umum harus mampu membuat kurikulum sendiri dan dosen sendiri yang mengembangkannya dalam proses perkuliahan.
Mungkin selama ini dosen Agama Islam pada perguruan tinggi umum masih terikat dan tergantung oleh bahan ajar dari pemerintah atau standar perguruan tinggi umum lainnya, padahal keheterogenan mahasiswa/ mahasiswi tidak mungkin akan dilakukan penyamaan pengetahuan kepada mereka. Sehingga perguruan tinggi perlu melakukan aturan dan membaut sendiri jenjang-jenjang pengetahuan untuk bahan mata kuliah sesuai dengan pemetaan pengatahuan mahasiswa. Tapi tentu harus dilakukan terlebih dahulu pemilahan akan pengetahuan mahasiswa itu sendiri.

E.     Kebijakan pemerintah berkaitan Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi umum.
Yang tidak kalah penting adalah kebijakan pemerintah akan mata kuliah Pendidikan Agama Islam sendiri. karena kalau berlandaskan item-item pancasila, maka memberikan prioritas pada mata kuliah pendidikan agama Islam akan memberikan keuntungan bagi pemerintah sendiri. permasalahan dekadensi moral anak muda menjadi permasahann besar negara ini. Maka dengan mengoptimalkan Pendidikan Agama Islam, akan dapat menimalisir penyelewengan-penyelewengan di kalangan anak muda. Seperti, minuman keras, berjudi, konsumsi narkoba, pergaulan bebas, dan yang tidak kalah penting adalah korupsi.
Pemerintah sudah memberikan ruang yang sangat besar pada pendidikan karakter, tapi itu hanya sebatas wacana. Karena pendidikan karakter tidak mempunyai landasan yang kuat bagi individu-individu. Sehingga akan sangat sedikit kemungkinan bisa dapat mencegah tindakan-tindakan amoral yang selama ini menjadi isu.
Akan sangat baik jika pemerintah memaksimalkan Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi. Karena agama sendiri mempunyai landasan yang kuat untuk membentuk keyakinan dan kepribadian individu. Apalagi materi pendidikan karakter sudah tercakup semua pada Pendidikan Agama Islam, pada konteks akhlak dan etika. Oleh karena itu, tinggal melakukan penekanan pada aspek tertentu saja pada tingkatan pengetahuan mahsiswa sendiri, sebagaimana yang harus dilakukan pada tahap awal.
Rekonstruksi Kurikulum PAI di Perguruan Tinggi Umum Pasca pemerintahan Orde Baru
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan Tinggi Umum (PTU) memperoleh landasan yang kokoh sejak dikeluarkan Tap. MPRS No. II Tahun 1960 dan UU. Perguruan Tinggi No. 22 Tahun 1961, yang mewajibkan pengajaran mata kuliah agama di perguruan tinggi negeri. Dengan ketetapan tersebut, eksistensi PAI sebagai sarana pembentukan kepribadian mahasiswa semakin kuat.
Sebagai bagian dari kurikulum inti perguruan tinggi, mata kuliah PAI tentu tidak lepas dari kontrol Pemerintah. Kurikulum PAI, dengan demikian, tidak bisa lepas dari kepentingan politik yang sedang berkembang pada saat mana kurikulum itu diberlakukan. Sehingga, perbedaan orientasi, visi dan misi sebuah rezim pemerintahan, akan berimplikasi pada muatan kurikulum PAI itu sendiri.
Pada masa Orde Baru, PAI di Perguruan Tinggi Umum berorientasi murni pada konsep-konsep dasar ajaran Islam normatif. Domain pembahasannya meliputi tiga pilar utama ajaran Islam, yakniakidah, syariah, dan akhlak. Inilah yang dijabarkan dalam kurikulum PAI di PTU.
Apakah kurikulum yang demikian masih tetap dipertahankan di era Reformasi? Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa hingga tahun 2002 muatan kurikulum PAI di Perguruan Tinggi Umum masih meneruskan materi yang telah diterapkan pada masa Orde Baru, meskipun mata kuliah ini telah dimasukkan sebagai salah satu kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Namun, sejak tahun 2002, muatan kurikulum PAI di Perguruan Tinggi Umum mengalami perubahan yang cukup drastis.
Pada bagian berikut, akan diuraikan tentang bagaimana perbedaan yang ada antara kurikulum PAI di PTU tahun 2000 dengan kurikulum PAI di PTU tahun 2002.

F.     Perbedaan Paradigma
Kepmen Diknas Nomor: 232/U/2000, menetapkan Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian hasil Belajar Mahasiswa. SK ini menjadi dasar penyelenggaraan program studi di Perguruan Tinggi yang terdiri atas (a) kurikulum inti, dan (b) kurikulum intruksional. Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi terdiri atas (a) kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK); (b) kelompok Matakulaih Keahlian Berkarya (MKB); Kelompok Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB). Mata kuliah Pendidikan Agama termasuk dalam kelompok MPK seperti halnya PPKN.
Seiring dengan itu, dalam rumusan penyempurnaan kurikulum mata kuliah PAI di Perguruan Tinggi Umum, dijelaskan:
Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi bertujuan untuk membantu terbinanya mahasiswa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berfikir filosofis, bersikap rasional dan dinamis, berpandangan luas, ikut serta dalam kerjasama antar umat beragama dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan ilmu dan teknologi serta seni untuk kepentingan manusia dan nasional (Nomor: 263/DIKTI/KEP/2000).
Rumusan di atas tampak berbeda dengan rumusan yang terdapat dalam kurikulum PAI di masa Orde Baru. Sebagaimana dideskripsikan dalam GBPP PAI bahwa mata kuliah PAI bertujuan:
Mengkaji dan memberi pemahaman tetang hakikat manusia yang membutuhkan panduan hidup, baik secara individu maupun sosial dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan memahami dirinya dan alam semesta yang telah diberi aturan oleh Penciptanya, aturan itulah yang disebut ayat kauniyah dan tanziliyah. Ayat tanziliyah inilah yang dirinci pada bahasan akidah, syari’ah, akhlak dan sejarah Islam. Penekanan utama ada pada aplikasi ajaran tersebut pada tingkah laku keseharian, baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun dari sunnah Rasulullah S.A.W (GBPP PAI dalam http://bima.ipb.ac.id).
Dengan kondisi yang demikian, tidak dapat dihindari dominannya pendekatan doktriner dalam proses pembelajaran PAI tersebut. Ajaran agama sebagai sesuatu yang harus diimani, diterima tanpa kritik, dan merupakan barang jadi yang siap pakai.
Paradigma kurikulum Pendidikan Agama Islam tahun 2000 tersebut masih merupakan kelanjutan dari paradigma kurikulum Orde Baru. Wilayah keislaman terkesan begitu sempit, seputar rukun iman dan rukun Islam ditambah dengan seperangkat aturan tata krama dalam pergaulan sehari-hari. Dengan demikian, konsep keagamaan cenderung bersifat statis karena sekedar melanjutkan tradisi teologis dari para ulama terdahulu.
Mungkinkah paradigma yang demikian ini sengaja ditanamkan penguasa pada masa Orde Baru untuk meredam kekuatan oposisi yang bisa lahir dari pemahaman keagamaan yang dinamis. Kecurigaan seperti ini tentu cukup beralasan, mengingat kurikulum merupakan produk dari penguasa, dan bahwa umat Islam dalam sejarah Indonesia merupakan salah satu kekuatan yang sangat diperhitungkan.

Paradigma Kurikulum PAI di PTU Tahun 2002
Perubahan iklim politik di Indonesia pada masa-masa awal Orde Reformasi, konflik sosial di berbagai daerah, serta lahirnya semacam fobia terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, semua itu berimplikasi terhadap dunia pendidikan, termasuk dalam hal ini kurikulum PAI di PTU.
Oleh karena itu, jika pada konsep penyempurnaan kurikulum PAI tahun 2000 paradigma yang digunakan masih merupakan warisan Orde Baru maka pada kurikulum 2002 paradigmanya sangat berbeda. Mata kuliah PAI di PTU tidak lagi berbicara tentang rukun iman dan rukun Islam belaka (bahkan untuk materi ini porsinya sangat minim), melainkan lebih dominan mengkaji tentang Islam dalam kaitannya dengan isu-isu kontemporer, seperti, hak-hak asasi manusia, demokrasi, hukum, sistem politik, masyarakat madani dan toleransi antar umat beragama.
Dalam Surat Keputusan Dikti Nomor 38 Tahun 2002 dinyatakan bahwa: “Visi Matakuliah Kelompok Pengembagan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi menjadi sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi dalam mengantar mahasiswa mengembangkan kepribadiannya (Dikti, 2002: pasal 1).”
Selanjutnya, kompetensi dasar yang ditargetkan adalah menguasai kemampuan berpikir, bersikap rasional dan dinamis, berpandangan luas sebagai manusia intelektual (Dikti, 2002: pasal 3). Sedangkan, untuk tujuan PAI di Perguruan Tinggi Umum, adalah:
Mengantarkan mahasiswa sebagai modal (kapital) intelektual melaksanakan proses belajar sepanjang hayat untuk menjadi ilmuwan yang berkepribadian dewasa yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan kehidupan (Dikti, 2002, pasal 3 ayat 1).
Dalam rumusan di atas, tidak lagi ditemukan term “iman” dan “takwa” sebagaimana yang ditekankan pada kurikulum sebelumnya. Sehingga jika rumusan tersebut dibaca tanpa melihat judulnya, tentu tidak ada kesan yang mencerminkan bahwa itu merupakan rumusan tujuan mata kuliah PAI.
Namun, dalam materi instruksional PAI yang diterbitkan oleh Dipertais Departemen Agama RIpada tahun 2004 ditegaskan bahwa kompetensi PAI adalah mengantar mahasiswa untuk (1) mengusai ajaran agama Islam dan mampu menjadikannya sebagai sumber nilai dan pedoman serta landasan berpikir dan berperilaku dalam menerapkan ilmu dan profesi yang dikuasainya; (2) menjadi “intellectual capital” yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt, berakhlak mulia dan berkepribadian Islami.[1]
Paradigma yang mendasari kurikulum PAI tahun 2002 ini adalah paradigma yang melihat agama sebagai sesuatu yang dinamis dan hidup dalam setiap aspek kehidupan. Agama bukanlah sekedar seperangkat aturan normatif untuk memenuhi kebutuhan spritualitas manusia. Agama adalah sebuah pandangan hidup, dan dengan demikian, agama memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk cara pandang terhadap realitas kehidupan. Dan karena realitas selalu dalam proses perubahan maka konsep keagamaan haruslah bersifat dinamis dalam merespon kondisi kekinian.
Krisis multidimensi yang melanda Indonesia di era reformasi, menghendaki lahirnya perubahan paradigma dalam berbangsa dan bernegara. Penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, penegakan demokrasi, supremasi hukum, dan pemberdayaan masyarakat sipil, merupakan agenda penting reformasi yang mesti “dibudidayakan” melalui pendidikan.
Di samping itu, konflik sosial yang terjadi di berbagai daerah di tanah air, menuntut peninjauan ulang terhadap cara pandang kita terhadap pluralisme agama, budaya, suku dan etnik. Yang dibutuhkan adalah kesepahaman dalam perbedaan dan bukannya menciptakan keseragaman dalam keragaman sebagaimana yang dilakukan di masa Orde Baru.
Berangkat dari paradigma baru ini, muncullah konsep pendidikan agama yang berwawasan kultural, seperti yang ditawarkan Zakiyuddin Baidhawy dalam bukunya Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Konsep ini menawarkan pendekatan dialogis untuk menanamkan kesadaran hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan, dibangun atas semangat kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami, menghargai persamaan, perbedaaan, keunikan dan independensi.[2] Model pendidikan semacam ini memberikan konstruk baru yang bebas dari prasangka dan stereotipe mengenai agama orang lain, bebas dari bias dan diskriminasi atas nama apapun, baik itu agama, jender, ras, warna kulit, kebudayaan, maupun kelas sosial.
Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa klaim berlebihan tentang kebenaran absolut kelompok keagamaan sendiri, dan klaim kesesatan atas kelompok-kelompok agama lain, berpotensi meningkatkan sentiment permusuhan antar umat beragama. Penganjur-pengajur dengan pendekatan teologis dogmatis semacam ini dapat dengan mudah membawa dan memicu konflik dan kekerasan pada level pengikut. Dan anehnya, semua mengatasnamakan Tuhan.[3]
Pendekatan multikultural dalam pendidikan agama mendapat dukungan luas dari kalangan akademis, sebagai sebuah pendekatan yang tepat dalam merespon konteks sosial masyarakat Indonesia yang pluralis.
Demikianlah, bila dibandingkan dengan kurikulum tahun 2000, dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran paradigma yang sangat tajam pada kurikulum PAI di Perguruan Tinggi Umum tahun 2002.
Kepentingan politik, tentu saja memiliki andil dalam hal ini. Penulis beranggapan bahwa pembaruan kurikulum ini, di samping diperuntukkan untuk menyukseskan agenda reformasi dalam hal penegakan HAM, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat sipil, serta memupuk kesadaran akan pluralisme, juga untuk meredam lahirnya kelompok-kelompok radikal yang berbasiskan Islam. Seperti diketahui, isu terorisme yang ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam “radikal” di Indonesia, merupakan salah satu masalah yang mendapat perhatian ekstra serius dari pemeritah Indonesia di era reformasi. Bahkan kelompok-kelompok Islam “radikal” di Indonesia mendapat “pengawasan khusus” dari dunia international.

Perbedaan Materi Kurikulum
Materi PAI di PTU pada Kurikulum Tahun 2000
Pada penyempurnaan kurikulum Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, sesuai dengan Keputusan Dikti Nomor:263 tahun 2000, materi pembahasannya terdiri dari 9 pokok bahasan dengan beberapa sub bahasan masing-masing, sebagaimana yang terlihat pada tabel 1.
Materi yang disajikan masih terkonsentrasi pada tiga domain utama ajaran Islam, yakni Akidah, syari’at dan akhlak. Tampak jelas adanya pengulangan dari materi Pendidikan Agama Islam pada tingkat dasar dan menengah, sehingga pada dasarnya materi PAI di tingkat perguruan tinggi dapat dianggap sebagai pematangan dari materi mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang telah dipelajari sebelumnya pada tingkat SLTA ke bawah. Perbedaan yang tampak hanya pada aspek penghayatan terhadap nilai-nilai (hikmah) yang terkandung dalam ajaran Islam itu, seperti hikmah salat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan yang terkait dengan akidah masih berkisar pada persoalan rukun iman.
Meskipun persoalan HAM telah disinggung dalam materi kuruikulum PAI tahun 2000 tersebut, namun tidak dikaji secara mendalam, melainkan sekedar pelengkap dalam materi pembahasan tentang akhlak dan takwa.
Dengan memperhatikan pokok bahasan dan sub pokok bahasan pada tabel 1 di bawah ini, dapat dipahami bahwa mata kuliah PAI dalam kurikulum tahun 2000 lebih banyak menggunakan pendekatan teologis doktriner.
Tabel 1. Materi Pokok Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum Berdasarkan SK. Dikti No. 263 tahun 2000
No.
Pokok Bahasan
Sub Bahasan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Manusia dan Agama
Agama Islam
Sumber Ajaran Islam
Kerangka Dasar Ajaran Islam
Akidah
Syariat, Ibadah dan Muamalah
Akhlak
Takwa
Ilmu Pengetahuan dalam Islam
a. Macam-macam ciptaan Allah
b. Manusia makhluk Allah yang paling sempurna
c. Kebutuhan manusia akan pedoman hidup
a. Macam agama dan kedudukan agama Islam
b. Peranan agama Islam dalam menentramkan batin dan membawa kedamaian
a. Sistematika sumber ajaran Islam
b. Penggunaan akal sebagai sumber ajaran Islam
a. Akidah, syariat dan akhlak
b. Agama Islam dan Ilmu-ilmu keislaman
c. Filsafat, tasawuf dan pembaharuan dalam Islam
a. Arti dan ruang lingkup akidah
b. Kemaha-esaan Allah
c. Kiamat, hukum alam dan akhirat
d. Peranan malaikat dan makhluk gaib lainnya serta pengaruhnya terhadap manusia
e. Tugas dan peranan nabi dan rasul
f. Fungsi kitab suci yang dibawa rasul bagi umatnya
g. Pengertian kada dan kadar
a. Pengertian dan ruang lingkup syariat Islam
b. Pengertian, tujuan, kedudukan dan hikmah ibadah dalam Islam
c. Arti salat dan hikmahnya bagi kehidupan
d. Pelaksanaan dan hikmah puasa
e. Pelaksanaan dan hikmah zakat
f. Pelaksanaan dan hikmah haji
g. Muamalah dalam Islam
h. Kewarisan dalam Islam
i. Prinsip kerja sama umat beragama
a. Pengertian dan ruang lingkup akhlak yang menghormati HAM, serta perbedaannya dengan moral dan etika
b. Akhlak terhadap Allah, manusia dan HAM serta lingkungan hidup
a. Pengertian, ruang lingkup dan kedudukan takwa yang menghormati HAM
b. Hubungan manusia dengan Allah
c. Hubungan manusia dengan sesame manusia
d. Hubungan manusia dengan diri sendiri
e. Hubungan manusia dengan lingkungan hidup
a. Kedudukan akal, wahyu dan ilmu dalam Islam
b. Klasifikasi dan karakteristik ilmu dalam Islam
c. Kewajiban menuntut ilmu
d. Disiplin ilmu dalam Islam

Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2004 Dipertais Depag menerbitkan buku pedomanMateri Instruksional Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Dalam buku ini terdapat 9 materi pokok yang selanjutnya diuraikan dalam beberapa sub bahasan, sebagaimana yang dipaparkan pada tabel 2 berikut ini:
Tabel 2. Materi Pokok Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum Berdasarkan SK. Dikti No. 38 tahun 2002
No.
Pokok Bahasan
Sub Bahasan
1.
2.
3.

4.
5.
6.
7.

8.
9.
Tuhan Yang Maha Esa dan Ketuhanan
Hakekat Manusia Menurut Islam
Hukum, HAM dan Demokrasi dalam Islam
Etika, Moral, dan Akhlak
Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Kerukunan antar umat beragama
Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat
Kebudayaan Islam
Sistem Politik Islam
a. Filsafat ketuhanan dalam Islam
b. Keimanan dan ketakwaan
c. Implementasi iman dan takwa dalam kehidupan modern
a. Konsep Manusia
b. Eksisitensi dan martabat manusia
c. Tanggung jawab manusia
a. Hukum Islam merupakan bagian dari Agama
b. Ruang lingkup hukum Islam
c. Tujuan hukum Islam
d. Sumber hukum Islam
e. Konstribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia
f. Fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat
g. HAM menurut ajaran Islam
h. Demokrasi dalam Islam
a. Konsep etika, moral, dan akhlak
b. Hubungan tasawuf dengan akhlak
c. Indicator manusia berakhlak
d. Akhlak dan aktualisasinya dalam kehidupan
a. Konsep ipteks dalam Islam
b. Integrasi, iman, ilmu dan amal
c. Keutamaan orang beriman dan berilmu
d. Tanggung jawab para ilmuwan terhadap alam dan lingkungan
a. Agama Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam
b. Ukhuwah islamiyah dan ukhuwah insaniyah
c. Kebersamaan umat beragama dalam kehidupan sosial
a. Konsep masyarakat madani
b. Peran umat Islam dalam mewujudkan masyarakat madani
c. Sistem ekonomi Islam dan kesejahteraan umat
d. Manajemen zakat
e. Manajemen wakaf
a. Definisi kebudayaan Islam
b. Sejarah intelektual Islam
c. Nilai-nilai Islam dalam budaya Indonesia
d. Masjid sebagai pusat peradaban Islam
a. Pengertian politik Islam
b. Nilai-nilai dasar sistem politik dalam Alquran
c. Ruang lingkup pembahasan siyâsahdusturiyyah

Uraian materi PAI di atas menunjukkan wawasan yang lebih luas sebagai sebuah pandangan hidup yang dinamis dan selalu berdialog dengan konteks sosial. Tidak lagi mengulang-ulang materi pelajaran SLTA ke bawah yang terbatas pada persoalan-persoalan rukun iman dan rukun Islam.
Pendidikan Agama Islam di era sekarang, sebagaimana diungkap al-Faruqi[4] dihadapkan kepada perubahan yang mendasar, terutama mempersiapkan peserta didik yang nantinya akan berintegrasi dengan masyarakat yang berasal dari berbagai macam latar belakang budaya dan agama. Untuk mendapatkan hasil maksimal dari sebuah proses pendidikan agama, ada dua hal sebagai “pekerjaan rumah (PR)”, terutama pendidik agama Islam, yakni: para pendidik tersebut sudah saatnya membutuhkan pengertian yang mendalam dan harus merasa peka terhadap isu-isu pemahaman keagamaan yang sedang berkembang dalam masyarakat umum. Selanjutnya, para pendidik ini harus bisa membantu peserta didik untuk menyadari pentingnya memahami budaya yang bermacam-macam dalam masyarakat, khususnya di bidang keagamaan.
Jika tidak demikian, tampaknya lembaga pendidikan sulit berpartisipasi dalam menengahi model-model pemahaman Islam radikal yang sering dituduh sebagai penyulut munculnya ketidaknyamanan dalam masyarakat beragama. Lembaga-lembaga pendidikan, terutama di masa akan datang, harus bisa memproduksi sarjana Islam yang berpikiran moderat untuk mewadahi berbagai macam pemahaman yang cenderung radikal itu. Untuk mengujudkan itu, seluruh unsur sistem pendidikan Islam, khususnya pembelajaran agama Islam, sebaiknya ditelaah kembali.[5]
Berbagai upaya untuk mengembangkan materi PAI di Perguruan Tinggi Umum saat ini terus digalakkan dengan mengacu pada spirit salah satu di antaranya adalah Pendidikan Agama Islam yang berwawasan multikultural.




DAFTAR PUSTAKA
al-Faruqi, 1968. dalam Jurnal of Ecumenical Studies, volume 5, No. 1, Winter.
Arifin, Anwar. 2003. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-undang Sisdiknas. Cet. ke-3. Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag.
Bachtiar, Wardi. 1997. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah. Cet.ke-1. Jakarta: Logos.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2007. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga
Bodgan, Robert dan Steven J. Taylor. 1975. Instrduction to Qualitative Research Method. New York John Wiley & Sons.
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 2004. Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI.
Ellis, Arthur K., et al., 1986. Introduction to the Foundation of Education. New Jersey: Prentice-Hall, Engliwood Cliffs.
Garis-garis Besar Program Pengajaran Pendidikan Agama Islam dalam http://bima.ipb.ac.id/~tpb-ipb/gbpp/gbpp-agamaislam. diakses 11 Oktober 2008
Keputusan Dikti Nomor: 263/DIKTI/KEP/2000 tentang penyempurnaan kurikulum inti Mata kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama pada Perguruan Tinggi di Indonesia. Depdiknas, 2000
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI, Nomor: 38/DIKTI/KEP/2002 Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Mubarak, Zaki. 2008. Geneologi Islam Radikal di Indonesia, Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi.Jakarta: LP3ES.
Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi ke-4, Cet. ke-1. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mun'im DZ, Abdul. 28 September, 1998. Reformasi Budaya untuk Reformasi Total. Kompas.
Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan. 2004. “Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah” dalam http://elcom.umy.ac.id., diakses 11 Oktober 2008
Rahman, Darmawan Mas'ud, 2004. "Nilai Budaya dan Konflik: Sebuah Kajian Singkat Diamati dari Sudut Budaya Kekinian", Makalah disampaikan dalam seminar sehari STAIN Datokarama Palu, 20 Desember.




[1] Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI,. Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 2004), h. vii
[2] Baidhawy, Zakiyuddin..Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 48.
[3] Ibid.
[4] al-Faruqi, 1968. dalam Jurnal of Ecumenical Studies, volume 5, No. 1, Winter. H. 45
[5] Sangkot, 2007 dalam http://sangkot.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar